Oleh Swary Utami Dewi[i]

Sumber: https://jejakrekam.com/2023/02/27/khdpk-harapan-hidup-petani-marginal-kawasan-hutan-negara/

Tulisan ini menunjukkan bahwa dengan mengadopsi konsep perhutanan sejahtera, kita dapati kesimpulan awal bahwa program ini dimaksudkan, pertama-tama adalah untuk menghilangkan beban Perhutani diluar tupoksinya sebagai kepanjangan tangan negara mengelola asset berupa hutan produksi. Kedua, pelibatan masyarakat secara formal dalam pengelolaan sumber daya dalam hutan menjangkau dua hal sekaligus: program keberlanjutan dimana pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan menjadi target. Ketiga, keberlanjutan juga menjadi mainstream pelaksanaan kegiatan, yang menghasilkan efek ekonomi sirkular dengan melibatkan berbagai stake holder : pemerintah daerah, unsur masyarakat dan pihak Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.

Kami sajikan ulang tulisan ini untuk memberi gambaran nyata bagaimana kemitraan harmonis perlu dijalin dan berjalan guna mengusung sebuah program besar: pengentasan kemiskinan kaum marjinal di pulau Jawa. Selamat mengikuti.

Kabupaten Blora merupakan bagian dari Pulau Jawa dimana lahan terhitung sangat sempit dibandingkan banyaknya penduduk di pulau ini. Jawa juga hingga kini masih menjadi pusat pertumbuhan di Indonesia hingga lahan menjadi kebutuhan yang penting.

Dinamika sosial, politik dan ekonomi yang begitu tinggi di Jawa kerap menimbulkan berbagai persoalan di kawasan hutan negara, yang selama ini dikelola oleh Perhutani (Perusahaan Kehutanan Negara Indonesia), salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kerap timbul konflik, saling klaim garapan, degradasi kawasan hutan dan berbagai isu sosial, ekologi dan ekonomi lainnya, termasuk kemiskinan masyarakat setempat.

Menurut Dirjen PSKL, Bambang Supriyanto, berkaca pada potret kondisi kawasan hutan di pulau Jawa, maka Pemerintah membuat terobosan kebijakan yang tadi disebut sebagai KHDPK guna mengatasi berbagai permasalahan masyarakat di kawasan hutan Jawa. Melalui Peraturan Menteri No 287 Tahun 2022, dari sekitar 1,1 juta hektare kawasan hutan di pulau Jawa yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai areal KHDPK, sekitar 83 persen diperuntukkan untuk Perhutanan Sosial.

KHDPK memang dirancang untuk menjawab beberapa persoalan klasik hutan di Jawa. Tapi yang paling fenomenal, menurut saya selaku pegiat Perhutanan Sosial, adalah keberpihakan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian LHK, sekali lagi, terhadap kaum marjinal yang seringkali terlupakan itu. Mereka yang selama ini hampir pasti tidak memiliki daya dan suara, yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan negara.

Membenahi Stigma ‘Megarsaren’

Pada bulan Februari 2023, saya dan beberapa kawan dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), mengunjungi salah satu dusun di desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sudah beberapa hari tim dari KLHK mendatangi kabupaten Blora, dan juga kabupaten Kendal, untuk melakukan fasilitasi dan pendataan langsung para petani, yang lokasi garapannya ada di Kawasan Hutan Dengan Peruntukan Khusus (KHDPK).

Tim fasilitasi KHDPK ini dilengkapi pula oleh unsur dari pihak terkait lainnya. Dan hari itu, sebagian dari Tim 2 yang bertugas di Blora masih berkutat di lapangan untuk mendata lokasi dan petani penggarap riil di sana. Keakuratan pendataan dibutuhkan untuk memastikan bahwa mereka yang berhak sajalah yang menjadi pengelola Perhutanan Sosial di areal KHDPK.

Saat bertemu dengan beberapa kepala desa di Kabupaten Blora, tepatnya desa-desa di Kecamatan Jati, pada 16 Februari 2023, kami juga berjumpa dengan perwakilan petani. Saat memberikan penjelasan tentang adanya kebijakan KHDPK, kami menekankan bahwa kebijakan ini merupakan bukti pemihakan dan perlindungan Pemerintah terhadap jutaan masyarakat marginal tersebut. Wajah mereka nampak sumringah. Bagi mereka KHDPK adalah angin segar di mana harapan hidup bisa diletakkan hingga ke anak cucu. Wajar bila rasa sumringah itu timbul, karena bisa jadi di antara mereka, masih ada yang mengingat, atau bahkan mengalami praktik “kebijakan” masa lalu, yang begitu menekan para petani gurem, ‘pesanggem’, masyarakat ‘magersaren’, buruh tani atau apa pun sebutan untuk mereka yang selama ini tidak berdaya itu.

Ternyata kata “magersaren” cukup erat melekat pada benak para petani kecil ini, dan beberapa langsung mengiyakan ucapan saya tentang “cerita klasik memilukan” dari petani gurem tersebut. Bagi yang baru mendengar istilah itu, ada baiknya kita memahami sekilas maksud tentang “magersaren” itu. Saya menemukan suatu penjelasan sederhana dan lugas berikut ini:

“Magersaren merupakan sebutan untuk rumah-rumah yang terbuat dari kerangka batang kayu jati muda dan dindingnya dari kulit kayu jati yang tidak sama lebar dan tebalnya, sehingga terbentuk lubang-lubang sebesar jari sekaligus ventilasi udara dan jendela. Biasanya rumah ini dipakai oleh penghuni dan hewan ternaknya seperti sapi. Begitulah kiranya gambaran rumah magersaren di wilayah kelompok rumah di hutan jati Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masyarakat penghuni rumah tersebut biasanya bermata pencaharian sebagai penebang kayu jati atau ‘blandongan’. Makanan utama mereka adalah gaplek dan ikan asin. Masa-masa tertentu mereka bisa menikmati makanan yang terlezat di dunia, yaitu goreng kepompong ulat jati yang bergizi tinggi” (Kompas, 6 Agustus 1975, Halaman 2, Kolom 4. Koleksi Surat Kabar Langka Terjilid Perpusnas RI Salemba, SKJIL-Team).

Begitulah “magersaren” menurut tulisan di Kompas pada tahun 1975. Membacanya tentu saja memilukan hati dan yang lebih menyedihkan, fenomena ini masih banyak terjadi di Jawa. Memang sekarang mereka tidak lagi hidup dengan binatang peliharaan atau hewan yang dititipkan oleh elite desa untuk dijaga. Tapi rumah yang ada mayoritas begitu sederhana-lebih tepatnya, bahkan banyak yang masih belum termasuk layak dari segi kesehatan. Kenyataan ini masih bertebaran menjadi sajian mata di Jawa dan Blora adalah contoh di mana rumah “sangat-sangat sederhana” itu masih banyak ditemukan di desa-desa.

Fenomena tersebut menggugah rasa penasaran saya. Ternyata memang, data menunjukkan bahwa masyarakat miskin di Indonesia masih ditemukan tinggal di dalam dan sekitar hutan. Saya kembali melacak data 2004 dari suatu lembaga penelitian internasional, CIFOR (Center for Internasional Forestry Research). Dalam sebuah policy brief, “Mengapa Kawasan Hutan Penting bagi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia?”, yang disiapkan Eva Wollenberg dkk  (Desember, 2004), disebutkan bahwa masyarakat yang tinggal di hutan merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia. Di luar Jawa, kebanyakan masyarakat pedesaan tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan negara. Sekitar 48,8 juta orang tinggal di lahan hutan, dan  sekitar 10,2 juta di antaranya masuk kategori miskin. Selain itu, policy brief tersebut menyatakan 20 juta orang yang tinggal di desa-desa sekitar hutan dan enam juta orang di antaranya menggantungkan sebagian besar penghidupannya dari hutan.

Belasan tahun kemudian, data yang ada masih menunjukkan hal serupa. Murti (2019), misalnya, menyatakan bahwa masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia. Lebih lanjut, Murti (2019) menuliskan bahwa 71,06 persen dari kelompok miskin ini masih menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.

Paling tidak ada dua hal yang bisa dilihat dari dua data tersebut. Pertama, masyarakat di dalam dan sekitar hutan masih banyak yang hidup jauh dari kondisi pra-sejahtera. Kedua, mereka yang miskin ini betul-betul sangat menggantungkan hidup dari hutan, termasuk juga lahan di kawasan hutan negara.

Berbicara tentang “menggantungkan hidup”,  Wollenberg dkk (2004) menguraikannya sebagai berikut: “Hutan mutlak diperlukan sebagai sumber pangan, bahan bangunan dan bahan lain bagi rumah tangga termiskin di kawasan hutan. Hutan memungkinkan peladang mempertahankan kesuburan tanah dan pengendalian gulma yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hutan merupakan jaring pengaman ekonomi ketika panen gagal atau pekerjaan upahan tidak ada. Bagi banyak keluarga, berjual hasil hutan dan hasil wanatani (agroforest) merupakan sumber uang utama untuk dapat membiayai sarana produksi pertanian, sekolah dan kesehatan.”

Apa yang ditulis oleh Wollenberg dkk itu benar adanya. Masyarakat miskin sekitar hutan mutlak memerlukan kawasan hutan untuk kehidupan dan penghidupannya. Untuk konteks Jawa, para petani kecil, yang mengelola lahan di kawasan hutan negara  hampir semua mengelola luasan yang sangat kecil untuk bertahan hidup. Bisa jadi luasan itu rata-rata sebesar 0,2 – 0,3 hektare. Jika ada yang mengelola lebih dari itu, katakanlah 1-2 hektare, jumlahnya sangat sedikit dan ini pun digarap bersama dengan anggota keluarga lain yang sudah menikah.

Berkaca pada potret kondisi kawasan hutan (degradasi, alih fungsi dan sebagainya), ternasuk juga menyangkut isu sosial yang terjadi di Jawa (konflik lahan, kemiskinan dan kesenjangan), maka Pemerintah, melalui Kementerian LHK, membuat terobosan kebijakan, yang tadi disebut sebagai Kawasan Hutan Dengan Peruntukan Khusus (KHDPK). Kebijakan ini diambil untuk mengatasi berbagai permasalahan masyarakat di kawasan hutan Jawa.

Bagi saya, kebijakan ini, bisa dinilai progresif. Sekitar 1,1 juta hektar kawasan hutan di Jawa ditetapkan oleh Pemerintah sebagai areal KHDPK, melalui Peraturan Menteri No 287 Tahun 2022. Dari total luasan itu, sekitar 83 persen diperuntukkan untuk Perhutanan Sosial. Tujuannya sudah jelas: kondisi ekologis hutan makin baik, dan kehidupan masyarakat hutan menjadi lebih baik.

Bagaimana dengan prakteknya?

Memastikan yang Berhak

Maka kata kuncinya adalah cross check. Untuk memastikan bahwa pengguna lahan yang betul-betul membutuhkanlah yang terakomodir dalam konteks KHDPK ini, maka teknis tertentu dipergunakan oleh tim yang turun ke lapangan. Di lokasi-lokasi yang di beberapa desa di Blora yang menjadi tempat pelaksanaan awal, dilakukan sosialiasi tentang KHDPK ke petani dan unsur desa lainnya.

Lalu dilakukan cek lokasi. Para petani yang telah mengelola lama didata ulang. Meski sudah ada data awal, misalnya dari pendamping, kelompok tani, desa atau Perhutani, tetap perlu dilakukan cek silang di lapangan untuk memastikan keakuratan subyek yang mengelola lahan hutan tersebut.

Kejelian diperlukan karena bisa jadi ada yang bukan petani, tetapi masuk daftar anggota. Juga ada mereka yang baru masuk ke areal itu dan lokasinya tumpang tindih. Di sini, yang dipastikan terakomodir adalah mereka yang telah lama menggarap (minimal 5 tahun), dan betul-betul membutuhkan lahan untuk kehidupan dan penghidupan. Untuk ini, petani diminta langsung mengajak tim ke lokasi menunjukkan lahan kelola, sekaligus mendata apa saja selama ini yang sudah ditanam dan cara mereka mengelola lahan tersebut.

Petani asli yang merupakan penggarap lama akan hafal siapa petani tetangganya, apa saja yang ditanam, siapa yang membantu mengelola dan sebagainya. Selain itu, untuk memastikan apakah betul yang bersangkutan memang petani sejati perlu dilengkapi dengan menanyakan ke sesama petani, mandor Perhutani yang selama ini sudah lama bertugas di lokasi tersebut, atau dengan perangkat desa yang sudah lama tinggal di desa dan hafal para petaninya.

Penutup

KHDPK jelas merupakan kebijakan progresif yang berpihak untuk petani kecil di Jawa dan patut mendapat dukungan dari kita semua. Meski ada kritik dan tantangan, keberanian Pemerintah untuk memperjuangkan KHDPK adalah respons restoratif untuk memperbaiki berbagai kondisi dan isu yang terjadi di kawasan hutan negara di pulau ini.

Meski belum sempurna, kebijakan ini juga perlu terus dikawal bersama, untuk memastikan petani kecil sejatilah yang terakomodir: Bukan mereka yang mengaku petani, elite petani atau kelompok tertentu yang memiliki kepentingan berbeda. Sejatinya, KHDPK merupakan harapan hidup petani marginal di kawasan hutan negara.(jejakrekam)


[i] Penulis adalah Anggota TP3PS serta Pendiri NARA dan KBCF dan Climate Leader Indonesia.

Tags: