
Oleh Prof. Arief Anshory Yusuf, S.E, M.Sc., Ph.D,
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran.
Bidang Kajian Microeconomics Dashboard Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) telah menyelenggarakan program bertajuk “Meet The Expert #2”, yang tema besarnya adalah mengkaji persoalan diseputar polemik Ekonomi Hijau (Green Economy). Acara yang berlangsung pada pada Kamis 7 Juli 2022 ini mengundang Prof. Arief Anshory Yusuf, S.E, M.Sc., Ph.D., Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran. “Meet The Expert #2”, berupaya membahas pertanyaan besar apakah Green Economy ini feasible untuk negara berkembang seperti Indonesia, serta peluang dan tantangan yang akan dihadapi Indonesia jika menerapkan Ekonomi Hijau. Kami mengangkatnya kembali sebagai bagian dari kontribusi menyebar luaskan gagasan Green Economy, yang tak lepas dari konsep besar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sebagai concern utama P-ID. Artikel aslinya dapat Anda akses pada https://feb.ugm.ac.id/id/berita/3721-mengupas-tuntas-peluang-dan-tantangan-ekonomi-hijau
Prof. Arief Anshory Yusuf memulai sesi itu dengan memaparkan konsep mengenai Green Economy yaitu sebagai sistem ekonomi hijau, yang sesuai prinsip ekonomi, tetap bertujuan mengalokasikan sumber daya secara optimal. Visiting Professor pada Department of International Development dari King’s College London ini menjelaskan bahwa munculnya gagasan ekonomi hijau ini tak lepas dari kenyataan bahwa ekonomi yang berdasar pada algoritme harga pasar kerap kali gagal menilai sumber daya dalam lingkungan, semisal kualitas udara bersih. Ia kemudian menjelaskan Wagner’s Law yang menyatakan bahwa pada umumnya, semakin kaya suatu negara, akan ditandai dengan semakin tingginya Produk Domestik Bruto (PDB), dimana semakin berkembang negara tersebut, maka akan semakin sehat, semakin cerdas, dan semakin canggih pula politik kolektifnya. Namun hal ini berbenturan dengan Paradoks Easterlin yang menyatakan bahwa disamping kenaikan PDB Jepang dalam kurun 1958 hingga 1990, survei kepuasan hidup masyarakat Jepang cenderung stagnan dalam kurun waktu yang sama.
Selanjutnya, Honorary Senior Lecturer pada Crawford School of Public Policy dari Australian National University ini juga menggarisbawahi kegagalan algoritme harga dalam membaca kerugian ekonomi dan aspek kemanusiaan (humanity) dalam peristiwa “Polusi Asap Asia Tenggara 2015” yang menimbulkan kematian prematur sebesar lebih dari 100.000 jiwa. Hal ini pada gilirannya tentu harus dipertimbangkan sebagai kerugian ekonomi dan juga, ketidakadilan. Maka merangkum kasus-kasus di atas secara keseluruhan, sistem harga pasar yang menganut sistem free unregulated menimbulkan beberapa problem besar kemanusiaan: abai terhadap keadilan, tidak dapat menyempurnakan diri sendiri, tidak dapat menciptakan pasar sendiri, dan tidak bekerja dengan baik dalam informasi yang asimetrik. Dari sinilah kemudian muncul kesadaran akan urgensi penerapan ekonomi hijau yang memandang bahwa tidak semua nilai bersumber dari harga pasar. Sebab pada kenyataannya, seringkali sumber daya yang paling berharga di dunia, misalnya udara bersih, tidak dapat dinilai dengan harga pasar.
Meski demikian, pendiri Center for Sustainable Development Goals Studies (SDGs Center) dari Universitas Padjajaran ini menegaskan, wacana ekonomi hijau sejatinya tidak menawarkan revolusi pada sistem ekonomi kapitalis. Ekonomi hijau lebih bertujuan ‘memberi warna’ pada ekonomi kapitalis yang pada kenyataannya telah diaplikasikan oleh mayoritas negara di dunia, agar memiliki perhatian terhadap keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam.
Menilik sebuah analisis kasus, ekonomi hijau pada awalnya memerlukan biaya investasi yang besar. Ditambah lagi, ekonomi hijau diproyeksikan menghasilkan profit yang lebih sedikit dibanding ekonomi konvensional. Namun, secara jangka panjang serta menimbang kemungkinan bencana alam dan kerusakan lingkungan yang telah dapat diprediksi kejadiannya, ekonomi hijau memiliki keunggulan ekonomis yang cukup tinggi dibanding ekonomi konvensional.
Trend inilah yang kemudian mulai mendapat perhatian berbagai negara dunia, khususnya negara-negara maju. Untuk kasus Indonesia, hal menarik yang dikemukakan oleh Arief adalah bahwa sebenarnya sistem ekonomi hijau juga mendapat dukungan konstitusional. Untuk itu, ia dengan tegas menyatakan bahwa ekonomi hijau tertulis secara eksplisit dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 4.
Pada akhir sesi, Direktur Economy and Environment Institute Indonesia (EEI-Indonesia) ini memaparkan bahwa terdapat setidaknya empat tantangan yang harus dihadapi dalam penerapan ekonomi hijau. Tantangan pertama yaitu paradigma ekonomi konvensional. Beberapa tantangan lainnya yaitu ekonomi politik, domestic policy space, serta komitmen. Namun di saat yang sama, Arief juga mengemukakan strategi yang dapat mengatasi keempat tantangan tersebut.
Paradigma konvensional dapat diatasi dengan hadirnya negara ketika ekonomi sedang tidak berfungsi dengan baik. Tantangan ekonomi politik dapat dihadapi dengan perencanaan, monitor, dan kontrol target pencapaian, serta peningkatan partisipasi publik. Domestic policy space dapat diatasi dengan penerapan kebijakan fiskal yang akurat dan relevan. Terakhir, komitmen dapat ditanam dengan peningkatan alokasi anggaran secara progresif terhadap proteksi lingkungan.
Pemaparan mengenai tantangan ekonomi hijau sekaligus menjadi pungkasan sesi pemaparan webinar.