Canyon Keanu Can and Teguh Dartanto
Department of Economics, Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia.
Artikel selengkapnya dapat dilihat pada https://www.eria.org/uploads/media/policy-brief/FY2023/Developing-the-Blue-Economy-in-Indonesia.pdf
Bukti kebijakan di masa lalu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan keuangan biru, skema kemitraan publik-swasta, dan pembentukan klaster industri untuk mengintegrasikan berbagai subsektor telah menjadi elemen kunci dalam keberhasilan pengembangan ekonomi biru di berbagai negara (ADBI, 2022). Untuk memfasilitasi dan mempercepat kemitraan ini, Indonesia telah meningkatkan sistemnya untuk meningkatkan data dan pemantauan aktivitas maritim (Bank Dunia, 2021). BAPPENAS berencana meluncurkan IBEI berdasarkan dashboard berbagai indikator makroekonomi.
Bekerja sama dengan perencanaan, pemantauan, intervensi, dan pengembangan teknologi pemerintah, IBEI bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antara lembaga pemerintah dan pemangku kepentingan di sektor ini dan dapat digunakan untuk menetapkan target spesifik untuk setiap pilar ekonomi biru.
Pilar-pilar ini mencakup lingkungan hidup (misalnya kualitas sumber daya energi terbarukan kelautan); perekonomian (misalnya perikanan, akuakultur, pariwisata, dan manufaktur berbasis kelautan); dan aspek sosial (misalnya ketenagakerjaan dan kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan kelautan), yang selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk memastikan inklusivitas (BAPPENAS, 2022).
Indonesia mendirikan Lembaga Pembiayaan Kelautan dan Perikanan untuk mendorong keberlanjutan keuangan dan akses terhadap pembiayaan di sektor ini. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia menarik arus kas sektor swasta dan mendiversifikasi sumber pendanaan yang tersedia untuk perikanan (ADBI, 2022).
Dengan instrumen baru seperti sukuk biru (obligasi syariah), asuransi terumbu karang, dan obligasi berbasis hasil, pemerintah menyadari pentingnya inovasi pembiayaan untuk mendukung pertumbuhan sektor ini lebih lanjut.
Salah satu hambatan terbesar Indonesia dalam mencapai perekonomian kelautan yang berkelanjutan adalah integritas ekosistem laut dan pesisir.
Satu, dengan jumlah mangrove yang mengalami tingkat kehilangan tercepat di dunia, dan lebih dari 50% mangrove berada dalam kondisi terdegradasi (KKP, 2019), pembangunan pesisir telah menjadi ancaman terbesar terhadap ekosistem laut di negara ini (BAPPENAS, 2021 ). Jika tidak dikelola dengan baik, degradasi ini dapat melemahkan potensi dan kapasitas ekonomi biru yang ada.
Kedua, sistem pengelolaan perikanan masih belum optimal dan efisien. Sekitar 38% perikanan tangkap laut Indonesia diperkirakan mengalami penangkapan ikan berlebihan pada tahun 2017, dan 44% diantaranya ditangkap sepenuhnya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya pendapatan ekspor dan pendapatan pemerintah, serta mengancam kesejahteraan masyarakat pesisir
Ketiga, sampah plastik di laut meningkatkan kerugian ekosistem, membahayakan kesehatan manusia, dan mengancam aktivitas ekonomi pesisir. Indonesia menyumbang sekitar 0,20–0,55 juta ton plastik setiap tahunnya ke lautan (Bank Dunia, 2021), dan dampak langsung dari polusi plastik terhadap perekonomian di Indonesia melebihi $450 juta setiap tahunnya (APEC, 2020).
Kurangnya infrastruktur dasar dan layanan bagi penduduk juga memperburuk dampak pencemaran laut dan perubahan iklim terhadap lokasi-lokasi pariwisata penting. Meningkatnya jumlah pengunjung dan kebutuhan dunia usaha telah menambah tekanan lingkungan dan menyebabkan meningkatnya hilangnya terumbu karang. Kompleksnya jaringan pemangku kepentingan yang terlibat semakin memperparah tantangan yang harus diatasi oleh pemerintah, namun banyaknya kepentingan ini juga mencerminkan peluang yang dimiliki oleh sektor kelautan. Agar Indonesia dapat memimpin komunitas ASEAN dalam membangun lautan kemakmuran bersama, Indonesia harus mengatasi tantangan-tantangan ini sambil mengatasi masa depan yang tidak pasti dan lautan peluang yang belum dijelajahi.
Tata kelola kelautan yang sangat terfragmentasi – baik secara horizontal maupun vertikal – mencerminkan sifat kompleks pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Indonesia memerlukan landasan kelembagaan yang lebih jelas dan efisien untuk meningkatkan kapasitas kerja sama, khususnya di subsektor berkembang. Untuk itu maka studi ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: