Kamis, 17 Maret 2022

Kemitraan, lagi-lagi menjadi kata kunci yang mengemuka dalam membicarakan pelaksanaan dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dari perspektif para pelaku CSO di Indonesia. Hal ini menjadi begitu terasa pada webinar yang digagas oleh para alumni program Partnership Academy yang digelar tahun 2021 lalu oleh Oxfam Indonesia dan Partnership – ID. Diikuti 35 peserta, webinar ini bertujuan berbagi informasi dan pengetahuan tentang transformasi tata kelola lingkungan, sosial dan ekonomi dalam SDGs, memahami konsep SDGs dan kolaborasi dalam implementasinya sesuai dengan peran dan posisi multipihak serta mendiskusikan skema kolaborasi dalam transformasi tata kelola lingkungan, sosial dan ekonomi inklusif berbasis keadilan gender. Berbagai catatan best practises para CSO dalam konteks Indonesia, memberi aneka insight baru yang perlu menjadi perhatian para pelaku SDGs lainnya.

Webinar mendapat kata pengantar dari Yanuar Nugroho, PhD., Koordinator Tenaga Ahli Seknas SDGs Bappenas, yang selain membuka acara juga melanjutkannya dengan paparan berbagai parameter kemajuan capaian SDGs di Indonesia, dengan 58% indikator capaian membaik pada tahun 2020, 18% indikator capaian masih memerlukan perhatian khusus, dan 26% indikator capaian belum dapat dinilai karena datanya belum tersedia. Ia menekankan pentingnya meaningful collaboration, mendorong kolaborasi yang lebih bermakna karena dunia makin kompleks, tantangan yang dihadapi makin beragam, tidak mungkin pemerintah dapat mengatasi seluruh masalah.

Adi Pratama dari Oxfam Indonesia melanjutkan dengan kata sambutan, yang menggaris bawahi komitmen Oxfam membersamai berbagai stake holder lainnya mengarus utamakan kemitraan multi pihak untuk mencapai SDGs. Yanti Triwardiantini dari Partnership-ID juga menyampaikan sambutan, dan mengingatkan potensi CSO yang tidak disadari, karena lebih banyak dari korporasi manapun. Tak lupa Yanti juga menyampaikan apresiasinya pada para peserta, para CSO yang sudah mumpuni di dunia kemitraan namun masih tetap bersemangat mengikuti acara yang tergolong capacity building itu.

Mengubah ‘Lawan’ Menjadi Kawan

Tampil sebagai nara sumber adalah Wida Septarina (Yayasan Lumbung Pangan Indonesia), Nor Qomariah (Yayasan Satunama), dan Harris Oematan dari Perkumpulan Relawan CIS Timor.

Presentasi dari tiga narasumber berkisar dari soal masalah kelaparan vs food waste, masalah gender perempuan dan anak, dan masalah bencana yang semakin banyak dan sarat menjadi ajang politik, dan bagaimana menyikapi hal ini dalam kerangka SDGs. Ada benang merah dari ke-3 narasumber yaitu judul sejalan dengan muatan konten atau harapan yang akan diwujudkan berdasarkan permasalahan yang mereka hadapi selama ini. Jawabnya jelas: prinsip kemitraan-lah yang dapat menyatukan dan mencari jalan keluarnya.

Dalam pemaparan narasumber 1, terdapat dua prinsip yaitu keberanian dan keragaman, mengambil peran sebagai partnership broker, bagaimana menembus orang yang menganggap sepele food waste tetapi kemudian mampu menggerakan semua pihak. Keragaman dilihat sebagai potensi, bukan menjadi pemecah belah. Ke 3 narasumber memaparkan dengan baik solusinya, termasuk dalam hal membangun visi bersama setelah melakukan penjajakan seperti pengumpulan informasi (assessment, landscape mapping, dan lain-lain), dengan memasukkan unsur SDGs, agar memberikan kontribusi nyata.

Tantangan conflict of interest merupakan catatan penting dari narasumber 2. Alih-alih mundur, Kokom berjuang keras mencari jalan alternatif dan kreatif, mengetahui siapa mitranya sehingga akhirnya luluh juga dan kemitraan selanjutnya berjalan dengan baik. Tak lupa ia menambahkan, stakeholders dari lingkungan hidup biasanya mempunyai pengaruh kuat dan berpengaruh terhadap para decision makers.

Salah satu narasumber memperhatikan potensi lokal dimana dari tatanan/dampak, ternyata CSO mempunyai potensi dan memberi pengaruh yang luar biasa. Oleh karenanya, sebagai CSO ia meminta agar jangan melihat diri sebagai yang kecil, tapi strateginya adalah memperbesar cakupan. Catatannya pula, jangan ragu-ragu untuk memperluas cakupan tersebut, agar memberi dampak yang signifikan dan berkontribusi untuk perbaikan SDGs.

Catatan Penanggap

Disampaikan oleh Helen Sidjabat dari P-ID, diakui bahwa berbagai pengalaman yang ditampilkan mengingatkan para peserta agar lebih efektif  menggandeng mitra baru, yang dapat mengisi gap agar lebih powerful untuk mencapai SDGs. Terhadap pihak swasta misalnya. Diingatkan bahwa pendekatan kepada pihak swasta memerlukan waktu sampai terbangunnya trust. Jika sudah ada trust dan swasta melihat hasil kerja yang baik, semua level di perusahaan akan mendukung dan pekerjaan akan lebih mudah. Karena, kerja kolaborasi akan memberikan hasil yang lebih maksimal, dan ini berlaku di semua area dan bidang/program. Disinilah Helen menekankan kembali kiprah CSO yang dituntut untuk dapat bertindak multi peran: sebagai fasilitator, katalisator, penyeimbang, komunikator, dan dinamisator.

Setiap lembaga mempunyai karakteristik dengan kompetensi dan portofolio nya masing-masing. Untuk mengurangi gap hanya dengan kolaborasi karena tidak ada lembaga yang dapat mengerjakan semua hal. Harus ada keseimbangan sosial dalam menjalankan kemitraan, tidak boleh jomplang dan akhirnya, harus fokus untuk mengambil peran yang seperti apa.

Ada satu hasil riset dalam hal bencana dimana semua daerah-daerah yang pernah didampingi LSM cenderung lebih tangguh daripada yang tidak didampingi. Namun tidak lebih dari 10% LSM mampu mendampingi 76.000 desa di Indonesia. Maka jelas harus ada kolaborasi antara pemerintah dan LSM agar lebih banyak desa-desa yang tangguh menghadapi bencana. Harus dimulai dengan data dimana dibutuhkan strategi untuk pengumpulan data dari apa yang sudah dilakukan baik oleh jaringan pemerintah, jaringan LSM maupun komunitas-komunitas.

Sebagai evaluasi terakhir, harus disadari bahwa persoalan SDGs adalah karena baik masyarakat, mau pun para pejabat di desa, kabupaten dan propinsi banyak yang belum memahami apa itu SDGs. Jangan heran jika banyak yang tidak mengintegrasikan SDGs kedalam kebijakan dalam RPJM nya.

Catatan Akhir

Para narasumber membeberkan apa yang perlu untuk dijadikan catatan. Wida Septarini menunjukkan fakta bahwa masih banyak masyarakat yang kekurangan pangan, namun disisi lain banyak makanan-makanan yang terbuang. Ini perlu dicari terobosan. Bank pangan kemudian melakukan beberapa terobosan; mencoba kolaborasi dengan swasta dan berhasil mengcover sebanyak lebih dari 11.000 penduduk, melakukan terobosan terkait dengan mentari bahan baku, program “Sadari Sayang Ibu”, dan sebagainya. Nur Qomariah merujuk 3 hal: Kolaborasi berhasil jika tepat memilih mitra, mengintregasikan manajemen landscape, dan kolaborasi memudahkan untuk capai tujuan

Sementara Harris Oematan memberi catatan, tujuan dari SDGs dengan pencapaiannya tidak terlepas dengan perubahan iklim, maka program-program harus diintegrasikan dengan perubahan iklim. Nyatanya, banyak di area NTT yang kering bertambah kering, yang basah bertambah basah. Dalam melihat gap misalnya cara bertani, berbagai stakeholder punya cara pandang berbeda. Misalnya dari perguruan tinggi melihat persoalan bertani adalah modal, sementara petani adalah air. Gap ini yang perlu dicarikan jalan.

(MF/TIP/IKA)

Tags: