
Model fasilitas kerja sama yang diterapkan oleh TNP2K untuk penanggulangan kemiskinan, menggunakan pendekatan “shared value” yang banyak dianut oleh dunia usaha multinasional. Lembaga swadaya masyarakat diharapkan berperan serta aktif dalam pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, agar mentalitas gotong royong terbangun sehingga manfaat atau dampak dapat berkelanjutan. Tulisan ini merupakan kutipan dari buku “Kemitraan TNP2K Bappenas”, yang kami sajikan untuk menambah wawasan bersama tentang model-model kemitraan guna menanggulangi kemiskinan.
“Creating Shared Value” atau menciptakan manfaat bersama, adalah strategi manajemen ketika perusahaan menemukan peluang usaha dalam masalah sosial. Ini adalah cara baru bagi perusahaan untuk memperoleh manfaat ekonomi.[i] Dengan mengundang keikutsertaan sektor swasta yang menerapkan konsep “shared value”, perusahaan-perusahaan tersebut paham pentingnya memasukkan masalah dan kebutuhan sosial dalam rancangan strategi perusahaan.
Di sinilah kunci pendekatan yang berbeda dari pemahaman tentang penggalangan dana CSR, yang seringkali disalah-persepsikan sebagai donasi atau sumbangan dana semata. CSR (Corporate Social Responsibility), sesungguhnya adalah strategi bisnis untuk pencapaian ekonomi (profit), yang harus diimbangi dengan penciptaan kesejahteraan masyarakat (people) dan perlindungan lingkungan hidup (planet).
Di masa sebelum SDGs dicanangkan, Pembangunan Berkelanjutan diperkenalkan dengan pendekatan “Triple Bottom Lines” (TBL)[i] yaitu:
- Profit. Tidak semata mengedepankan keuntungan bagi pemegang saham, namun juga memastikan bisnis dilakukan secara etis (tidak melakukan tidak korupsi, penyuapan/gratifikasi atau manipulasi yang lain).
- People menekankan pentingnya praktik bisnis suatu perusahaan yang melindungi kepentingan tenaga kerja dengan pembayaran upah yang wajar, menentang adanya eksplorasi yang mempekerjakan anak di bawah umur, memperhatikan kesehatan dan pendidikan bagi tenaga kerja.
- Planet berarti mengelola dengan baik penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, dan menggantikannya dengan energi yang terbarukan. Perusahaan harus mengurangi emisi CO2, mengolah/mengurangi limbah produksi.
Selanjutnya, pendekatan TBL mengalami revisi, dimana istilah “Profit” diganti dengan “Prosperity” (kemakmuran) bagi semua pihak. Tidak lama sebelum pencanangan SDGs di tahun 2015, konsep pembangunan berkelanjutan memasukkan elemen Partnership (kemitraan) dan Peace (perdamaian).
Dengan berkembangnya jaman, perusahaan semakin menyadari pentingnya keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang. Untuk itu bisnis perlu merangkul semua pemangku kepentingannya (stakeholders). Pendekatan ini disebut “bisnis inklusif”, yang merasuk ke dalam strategi bisnis, prosedur operasional dan produksi perusahaan. Keberlanjutan bisnis meliputi aspek-aspek yang terkandung dalam panduan ISO 260008 , yang terdiri dari tujuh elemen mengenai bagaimana semua pihak (bukan hanya perusahaan) bertanggung jawab dan berperilaku etis dalam menjalankan kegiatannya.
Dengan bergabung dalam suatu kemitraan multipihak, dunia usaha dapat memperoleh manfaat, antara lain:
- Peluang mengembangkan produk, pasar, dan kegiatan usaha yang berkelanjutan
- Penyaluran bantuan kepada masyarakat secara transparan melalui skema pengelolaan program dan dana bersama yang didasari atas kepercayaan.
- Akurasi dan ketepatan sasaran untuk akuntabilitas perusahaan
- Akses terhadap informasi pelaksanaan dan keberhasilan program secara berkala
- Kepastian keberlanjutan program untuk memberikan dampak jangka Panjang.
Tujuan dan Mekanisme Kerjasama Fasilitas Kerja Bersama Untuk Penanggulanan Kemiskinan, merupakan mekanisme yang ditawarkan dengan tujuan mendorong partisipasi dunia usaha dan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Mekanisme kerja sama yang diterapkan adalah sebagaimana digambarkan pada Diagram 1.
Diagram 1. Kerangka Kerja sama Tiga Pihak

Pola yang dianut TNP2K adalah menyelaraskan nilai kebersamaan dan nilai ekonomi antara kepentingan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Untuk kerja sama ketiga pihak tersebut, penerima manfaat menjadi target bersama, dengan pengelolaan proyek dan pengelolaan dana menjadi elemen yang sangat penting diawasi demi akuntabilitas bersama. Adapun proses yang dilakukan bersama meliputi penentuan kebutuhan, rencana aksi, kebutuhan pendanaan, dan pelaksanaan (implementasi).
[i]Konsep “Triple Bottom Line” diperkenalkan oleh John Elkington, 1988.
[i]Sumber: Michael E. Porter & Mark Cramer, Harvard Business Review, 2006.