
Oleh Yanti Triwadiantini[i]
Pada tulisan ini, founder dari Partnership-ID tersebut menyoroti ecososiopreneurship dalam konteks ekonomi sosial dan pelaksanaan SDGs. Tentu saja jika dikemas menjadi satu, semua akan terkait dengan masalah perubahan iklim. Jadi memang bisa dibayangkan suatu konteks yang sangat luas dan bisa jadi sangat kompleks, sehingga susah difahami. Oleh sebab itu ia justru ingin mensimplifikasi pemikiran semua pihak sehingga tidak bingung di lapangan, terutama bagi mereka yang ada di level tapak, atau grass root. Diharapkan, para pelaku di lapangan dapat lebih percaya diri untuk melakukan apa yang dapat dilaksanakan, tanpa perlu frustrasi karena perlu mendukung agenda yang luar biasa besarnya itu.
Apa Itu Eco-Sociopreneurship?
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah sociopreneur mau pun ecopreneur tumbuh demikian pesat. Merujuk aslinya, ecopreneur (bahkan sekarang telah menjadi ecosociopreneur) adalah sebuah julukan yang harus diletakkan secara proporsional, sehingga tidak menjadi sesuatu yang mudah ditempel-tempelkan. Selama ini di fahami, yang boleh disematkan sebagai ecosociopreneur adalah mereka yang memiliki bisnis berbasis lingkungan hidup, atau melakukan bisnis yang memiliki tujuan sosial, kemudian punya fokus pada pengurangan dampak lingkungan.
Dengan demikian, ecosiciopreneur bercirikan pemenuhan kebutuhan share holder mau pun lingkungan. Kata “preneur” menunjukkan karerakter bisnis, maka dia harus menghasilkan profit, guna memenuhi kebutuhan share holder. Tetapi saat yang sama, ia mempunyai misi lingkungan hidup dan sosial. Inilah kekhasan sendiri yang dikenal dalam istilah eco sociopreneurship. Yang pasti bisnisnya bukan bersifat “sekali jadi” bisnis yang sekarang ada, besok tidak ada, tetapi suatu bisnis yang terus menerus dan berkelanjutan.
Oleh sebab itu, ecosociopreneurship merupakan sebuah perjalanan yang panjang. Seperti halnya sebuah pohon yang ditanam dari benih, menjadi tanaman kecil sampai menjadi pohon rindang, itulah ecosociopreneurship.
Meski tadi dikatakan saya ingin membuat simplifikasi, ecososioprenership itu tidak kemudian begitu mudah ditempelkan pada semua aktifitas bisnis, asalkan terkait lingkungan dan sosial. Tetapi harus disadari secara penuh bahwa sebenarnya kita perlu untuk memadukannya dengan hal-hal yang merupakan agenda internasional mau pun nasional. Disinilah letak tantangannya. Karena detil dan banyaknya bisa jadi bagi pelaku di lapangan menjadi kebingungan. Sekali lagi, bukan karena tidak suka tetapi karena begitu banyaknya aspek yang terkait, mereka kemudian mengatakan secara acak menunjuk hal-hal yang dapat mereka lakukan. Apalagi, selain punya kekhasan, seorang enterpeneur memiliki ide yang luar biasa banyaknya. Inilah yang perlu kita kelola, agar supaya mereka dapat focus pada bidangnya masing-masing.
Jadi, tantangannya adalah bagaimana mereka dapat terkoneksi, kemudian memetakan isu, target atau mau pun tujuan baik secara nasional mau pun internasional. Untuk itu, kita perlu bergandeng tangan. Saya menyebut dua kali istilah kemitraan, karena mereka sendiri harus sadar, mereka pertama-tama adalah seorang businessman. Tetapi dia bukan cuma businessman, dia juga punya misi sosial. Saya mengistilahkannya, seperti orang dengan 3 gigi. Gigi pertamanya, adalah tentu saja harus berbisnis yang profitable. Kedua, mareka harus melakukan kemitraan baik di sektor swasta, mau pun dengan pihak yang strategis. Jadi kerjasama multi pihak: pemerintah, swasta, universitas mau pun masyarakat lainnya. Ketiga, mereka dapat mencapai goal–goal yang masuk dalam agenda nasional mau pun internasional, pada apa yang disebut global economy, SDGs, dan sebagainya.
Karena wirausaha ini harus berkelanjutan, saya ingatkan kembali soal konsep atau evolusi yang terjadi dalam sustainable development atau pembangunan berkelanjutan. Ada istilah triple bottom line yang sudah disadari oleh teman-teman yang bergerak di isu pembangunan. Misalnya, perusahaan yang bagus haruslah mempunyai ciri khas ini: dia harus mementingkan profit, people, dan planet. Belakangan ini, kira-kira 5 atau 6 tahun lalu, konsep sustainable development ini sudah lebih kaya lagi. Profit bukan lagi ditujukan bagi yang pemilik bisnis, tetapi menjadi prosperity for all. Menjadi kemakmuran bagi banyak orang, ditambahkan pula dengan peace dan kemitraan. Disini terlihat lagi, pentingnya kemitraan dalam menjalankan apa yang akan dituju dalam pembangunan.

Nah, saya ingatkan sekali lagi bahwa Indonesia adalah salah satu negara diantara negara-negara di seluruh dunia yang telah berkomitmen menjalankan 17 point SDGs. Dan dari 17 point itu tadi, terdapat goals yang saling terkait satu sama lain, yakni nomer 13, yang terkait dengan penanganan perubahan iklim. Penanganan perubahan iklim ini berkaitan dengan penanganan konsumsi yang bertanggung jawab, sebagaimana tercantum pada point nomer 12. Dengan menyampaikan keterkaitan ini, kita akan mulai melihat dimana letak ecosociopreneurship dalam SDGs.
Saya berpendapat, eco–sociopreneurship tetaplah merupakan sektor swasta, tapi sektor swasta yang bergerak di grass root atau tapak, yang kemudian bisa berkembang menjadi UMKM, mempunyai badan hukum, dan akhirnya menjadi korporat besar. Ketika masuk pada pembicaraan tentang sirkular ekonomi, kita menyorot pada SDGs nomer 12, yaitu masalah yang terkait dengan pencapaian konsumsi dan berkelanjutan. Namun jangan lupa, hal itu bukan cuma satu target berdiri sendiri, karena dia sangat terkait dengan bergantung pada hal-hal yang lain.
Pada diagram dapat dilihat, point 12 itu terkait dengan bagaimana smart city dikelola, air bersih dikelola, bagaimana pekerjaan diciptakan, bagaimana bisa diperbaiki, bahkan juga bagaimana perempuan harus diperkuat. Ini semua menjadi satu kesatuan yang menjadikan sangat rumit jika tidak pandai-pandai memilah, terutama bagi teman-teman enterpreneurs yang ada dilapangan. Memikirkan hal ini dapat memusingkan, karena mungkin kemampuannya masih sangat terbatas.
Karena sebenarnya, jika kita sudah bicara ekonomi sirkular, handbook nya bisa tebal sekali, sebagaimana dipelajari pada universitas dan sebagainya. Bagi teman-teman yang ada di lapangan dan langsung bekerja, hal semacam ini dapat mematahkan semangat teman-teman UMKM dan pejuang lingkungan sosial. Padahal, peran mereka sangat penting. Tidak ada pohon besar jika tidak ada benihnya dan benihnya ini tidak menjadi mungkin menjadi lebih sehat jika dipupuk menjadi lebih kuat.

Gambaran Ekonomi Sirkular
Saya mencoba sampaikan gambaran ekonomi sirkuler yang paling mudah. Ekonomi sirkuler merupakan pendekatan sistematik yang menghilangkan atau mengurangi biaya system produksi linier yang selama ini kita buat, pakai dan buang. Produksi, pakai, buang adalah linier ekonomi. Kemudian timbulah semangat dalam beberapa dekade agar supaya lebih ramah lingkungan, melakukan recycling, maka terjadi gelombang besar melakukan ekonomi recycling.
Padahal dalam ekonomi sirkular itu seharusnya tidak ada yang dibuang sama sekali. Sementara dalam prinsip recycling, limbah diputar-putar masih terbuang ke tempat sampah juga. Jika sirkular ekonomi, terus masuk terus sehingga net zero waste. Artinya tidak ada sama sekali yang terbuang sehingga kemudian tidak saja membantu pelestarian alam, tetapi juga mengatasi masalah perubahan iklim.
Oleh karenanya, saya ingin menggaris bawahi bahwa ekonomi sirkular itu tidak hanya sekedar recycling, atau tidak hanya mengurangi dampak buruk saja. Kemudian juga harus tetap menjaga supaya produknya bisa dipakai terus, tidak langsung dibuang, sehingga dengan demikian akan dapat meningkatkan hal positifnya. Ini adalah konsep ekonomi sirkular yang perlu kita ingat. Sehingga tidak akan cepat-cepat euphoria dengan apa yang kita fikir sudah termasuk dalam ekonomi sirkular, ternyata belum.
Dengan dengan pemahaman sirkular ini, saya tambahkan sedikit lagi, kira-kira yang disebut ekosistem ekonomi sirkular itu. Dengan menyimak gambaran yang dapat dilihat pada You Tube, bahwa yang paling gampang, sirkular ekonomi itu melakukan sirkular rotasi untuk bahan-bahan tehnologi/tehnik. Kemudian ekonomi sirkular itu juga menyasar pada bahan-bahan biologis, yang intinya tidak ada bahan – bahan yang dibuang ke landfill. Tehnologi nya adalah bagaimana dari awal mula, bahan baku dan semua itu terus dan terpakai terus. Tidak ada yang kemudian dibuang. Inilah sirkular ekonomi.
Dengan begitu, seorang enterpreneur perlu wawasan ekonomi sirkular semacam ini. Saya berfikir simple saja. Permudahlah dalam mencapai efektifitas dan efisiensi, berarti membuat dampak positif dan mengurangi dampak negatif. Peluang-peluangnya adalah misalnya melakukan bisnis yang berbasis pada pemikiran ulang. Menemukan inovasi baru lagi, apa yang dapat dipakai lagi. Kemudian dipakai ulang juga, kemudian juga membuat suatu siklus manfaat baru. Nanti akan kelihatan contoh-contohnya, apa saja siklus manfaat baru itu. Karena ini semua intinya adalah membuat suatu efektifitas, terhadap kualitas, dan capaian dari kegiatan-kegiatan produksi kita.
Demikian juga dalam hal sisi konsumsi, pemikiran ulang ini perlu juga ditekankan. Jadi sifatnya tidak hanya bagi yang membuat produk, tapi pemakainya pun perlu untuk menerapkan hal itu. Sehingga bisa dibayangkan, kalau produknya sudah bagus, tapi kemudian masyarakatnya disuruh memilah sampah saja tidak mau. Sekarang pakai baju, besok beli lagi yang baru, misalnya.
Nah, sedangkan yang terkait efisiensi tadi, mengurangi pemakaian, apakah pemakaian energi, mengurangi pemakaian bahan baku, mengurangi segala macam yang sifatnya bisa memberikan efisiensi. Demikian juga melakukan recycle. Harap dicatat, recycle itu hanya satu diantara sekian banyak peluang. Jadi bagi seorang ecososiopreneur, peluang itu luas sekali, tinggal digali satu per satu dan saat sudah digali satu persatu, barulah buka text book nya.
Sebagai penutup, saya ingin tampilkan karya-karya mereka yang dapat dijadikan contoh. Sebagai permulaan, sudah baik dan menjanjikan. Namun ke depannya, diperlukan sinergi dan kemitraan dengan berbagai pihak agar mereka dapat tumbuh menjadi lebih besar dan lebih baik lagi.
[i] Penulis adalah founder Partnership-ID, dan paparan ini disampaikan dalam “Webinar Forum Kemitraan”, Kamis 16 Desember 2021