Bagian pertama dari dua tulisan

Pengantar

Tulisan ini mengacu pada bab 4 buku “Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)” Beppenas, 2019. Secara umum, bagian ini menjabarkan bagaimana konsep kemitraan diterapkan dalam menjalankan program pengentasan kemiskinan pada berbagai lokasi dan mitra atau yang dikenal dengan istilah “Fasilitas Kerja Bersama”. Program yang menjadi studi kasus di artikel ini adalah “Listrik Untuk Masyarakat Miskin” yang dijalankan di kabupaten Timor Tengah Selatan. Bagaimana teori dan pendekatan digunakan hingga model intervensi yang dijalankan, menjadi bahan yang menarik untuk dikaji dan diimplementasikan pada berbagai kondisi yang serupa di Indonesia. (tim P-ID)

Kemitraan multi-pihak yang dibangun, merujuk pada tujuan dan dampak yang ingin dicapai oleh program. Metodologi yang digunakan dalam menyusun program Fasilitas Kerja Bersama adalah Teori Perubahan (Theory of Change) dan Kerangka Logis (Logical Framework). Theory of Change (ToC) adalah jenis metodologi yang dipakai oleh pemerintah, lembaga nirlaba, maupun filantropis untuk perencanaan, partisipasi mitra, dan evaluasi. ToC menentukan tujuan jangka panjang dan memetakan mundur untuk mencari langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan berdasarkan deskripsi yang spesifik dan terukur dari inisiatif perubahan sosial.

Teori Perubahan menggambarkan jenis intervensi yang membawa hasil yang digambarkan dalam peta perubahan, dimana setiap jalur perubahan terkait dengan intervensi, mengungkapkan kegiatan yang diperlukan untuk membawa perubahan. Logical Framework Approach (LFA) adalah metodologi yang dipakai dalam program-program pembangunan, untuk merancang, monitoring, dan evaluasi. Pendekatan ini menghasilkan tabel dengan 4 kolom dan 4 baris.

Keempat baris mencakup aktifitas, hasil (output), maksud dan target. Adapun keempat kolom mencakup penjelasan naratif tentang proyek, tujuan spesifik, indikator, cara verifikasi. Dalam program Listrik untuk Masyarakat Miskin, ToC dibuat sebagai acuan untuk penentuan langkah-langkah selanjutnya di bawah ini. Adapun LFA dibuat sebagai acuan untuk proses monitoring dan evaluasi.

1. Pemetaan Kebutuhan bagi Penerima Manfaat

Dalam program Listrik Tenaga Surya (LTS) di TTS, TNP2K memprakarsai kemitraan dengan pemerintah daerah (Pemda), dengan alasan utama pengurangan angka kemiskinan dan kepentingan daerah. Gayung bersambut dengan agenda Pemda untuk mengurangi tingkat/angka kemiskinan. Kondisi kemiskinan di TTS adalah nomor 3 diseluruh Indonesia. Selain itu, tujuan utama penurunan angka kemiskinan di kabupaten TTS belum tercapai. Data dari TNP2K membantu Pemda TTS, terutama dalam angka pelayanan dasar. Oleh karenanya disepakati untuk intervensi penyediaan listrik (angka kelistrikan baru 46%). Dalam masa perencanaan program, dilakukan pemetaan mengenai sumber daya yang dibutuhkan serta pihak/mitra mana yang sanggup memberikan kontribusi. Secara umum, masing-masing sektor berpotensi memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk yang berbeda, seperti yang disajikan dalam Tabel 1. Pada prakteknya, para mitra perlu memberitahukan kapasitas dan kemampuan masing-masing yang didedikasikan dalam program tertentu.

Fasilitas Kerja Bersama Untuk Penanggulangan Kemiskinan melibatkan pihak-pihak berdasarkan kelompok sektornya (pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat sipil). Dalam konteks Program Listrik untuk Masyarakat Miskin di TTS, kontribusi para mitra ditabulasikan dalam Tabel 2.

Dari kedua Tabel di atas, dapat dibandingkan kontribusi masing-masing sektor. Pemerintah dan masyarakat sipil telah sesuai dengan kapasitas dan fungsinya.

2. Pemilihan Mitra dan Peran Para Mitra

Pada saat para inisiator program telah mengkaji masalah dan menemukan solusi bersama, maka mulai dirasakan perlunya mengajak mitra-mitra lain untuk bergabung dalam pelaksanaan program. Dalam program pemerintah, dinas-dinas teknis terkait merupakan mitra-mitra yang wajib dilibatkan. Sedangkan mitra-mitra dari sektor lain (swasta dan organisasi masyarakat sipil) dapat dipilih sesuai kebutuhan. Untuk program Listrik Tenaga Surya (LTS) di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), mitra-mitra yang terlibat, terpetakan dalam diagram berikut ini.

Gambar 1. Mitra-mitra yang terlibat dalam

Program Listrik untuk Masyarakat Miskin di Timor Tengah Selatan.

Menarik untuk diulas disini, bahwa peran pemerintah pusat sangat kuat dalam menginisiasi program ini. Sebaliknya peran swasta dan donatur individu terlibat secara tidak langsung, karena digalang melalui lembaga-lembaga nirlaba (Lazismu dan GRF). Kopernik[i]  memiliki peran yang unik, yaitu sebagai pemasok teknologi. Sesungguhnya Kopernik adalah wirausaha sosial (social enterprise) yang sebenarnya juga memiliki kemampuan melakukan penggalangan dana.

Sebagaimana dijelaskan dalam Bab 2, proses kemitraan 4 fase adalah perjalanan suatu kemitraan dari tahap pembentukan hingga selesai atau berkelanjutan. Proses kemitraan tersebut dimaksudkan sebagai alat bantu untuk memandu perjalanan suatu prakarsa kemitraan, sekaligus sebagai barometer keterlibatan seluruh mitra yang ada secara proposional dalam program.

Khusus untuk program “Listrik Tenaga Surya” di TTS, keterlibatan para mitra dievaluasi dalam acara temu-karya di Jakarta pada bulan Mei 2018. Acara ini diadakan oleh TNP2K, dan dihadiri oleh Pemerintah Daerah TTS (DPRD, Bupati, dan wakil-wakil dinas terkait), dimana LSM (Besipae) juga turut hadir. Adapun masukan dari GRF dan Lazismu diintegrasi dari pemetaan yang dilakukan dalam kesempatan terpisah, karena berhalangan hadir.

Metoda pemetaan keterlibatan mitra dalam langkah-langkah spesifik proses kemitraan (Diagram 1, Bab 2) dapat memberikan gambaran jelas pihak-pihak mana yang terlibat dalam berperan dalam setiap proses kemitraan, serta pihak-pihak yang seharusnya terlibat namun tertinggal karena satu dan lain alasan.

Diagram 4 merupakan hasil pemetaan keterlibatan para mitra pada tahapan-tahapan yang berbeda dalam proses pengelolaan kemitraan dalam program Listrik Tenaga Surya di Timor Tengah Selatan. Hasil pemetaan ini diperoleh setelah program berjalan mendekati paripurna, dan dimaksudkan sebagai pembelajaran dari proses yang sudah dilalui bersama.

Diagram 4. Tingkat Keterlibatan Para Mitra dalam Fasilitas Kerja Bersama – Listrik Tenaga Surya di Timor Tengah Selatan

Dari Diagram 4, terlihat bahwa komitmen TNP2K stabil di seluruh tahapan kemitraan dapat terlihat jelas. Pemerintah Daerah sangat terlibat dan mendukung seluruh proses kemitraan. Demikian juga dukungan LSM juga tercermin dalam pemetaan ini. Sebaliknya, peran dunia usaha tidak menonjol, karena keterlibatannya terbatas pada tahap awal dan pelaksanaan di lapangan karena diwakili oleh GRF yang dikategorikan sebagai LSM.

Dalam kemitraan LTS di TTS, peran serta Pemerintah Daerah (DPRD tingkat II dan jajaran dari tingkat Kabupaten hingga tingkat Desa) cukup banyak. Namun dalam tahapan-tahapan pada awal dan pada tahap keberlanjutan, tidak semua jajaran Pemda ikut serta dalam prosesnya karena Pemda diwakili oleh pejabat-pejabat tinggi.

Mitra-mitra lembaga nirlaba, berperan di berbagai tahapan dengan intensitas yang berbeda. Pada tahap awal prakarsa, Lazismu dan GRF telah mengidentifikasi masalah dan mengajukan ide tentang penyediaan listrik tenaga surya. Kedua lembaga nirlaba ini, membawa pendanaan dari sumber yang berbeda:

  • Lazismu: dana sumbangan/sedekah umat yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan
  • GRF: dana dari perusahaan-perusahaan yang mengalokasikan investasi sosial dengan berbagai tujuan/strategi. Peluang yang ditawarkan oleh Lazismu dan GRM mendapat sambutan positif dari TNP2K yang kemudian mengadopsi ide tersebut dengan memilih Timor Tengah Selatan sebagai lokasi uji coba.

Pada Program Listrik untuk Masyarakat Miskin di Timor Tengah Selatan, ada pola yang khas dalam menemukan mitra-mitra yang tepat.

Lingkar Pertama para mitra kunci di Jakarta, yang melibatkan

  • TNP2K selaku inisiator[i], memperoleh dukungan dari DFAT (pendanaan proyek Mahkota),
  • Lazismu dan GRF yang memiliki kemampuan menggalang dana, dan
  • DPRD dan Bupati, untuk mendapatkan komitmen dana pendamping APBD.

Lingkar Kedua para mitra di tingkat lokal, yang melibatkan

  • Yayasan Besipae, yang bertugas sebagai Pendamping ke tingkat kabupaten dan desa.
  • Bappeda, sebagai perencana program di tingkat daerah
  • Tim Pengelola (Manajemen) Kabupaten yang disahkan dengan SK Bupati, mencakup PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), Pertanian, Perindag, Dinas PRKP (Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman)

Lingkar Ketiga, adalah para mitra swasta

  • Kopernik, sebagai penyedia teknologi listrik bertenaga surya, membantu Besipae dalam sosialisasi teknis ke tingkat desa dan penerima manfaat.
  • BRI adalah bank yang dipilih untuk penyetoran iuran masyarakat Rumah Tangga Sasaran (RTS).
  • Artha Graha: menyediakan teknologi berikut cara pembayarannya melalui cicilan KUR di Bank Artha Graha

Pelibatan mitra-mitra secara bertahap menunjukkan sebuah pola seperti spiral, mulai dari Lingkar 1, 2, dan 3.

(bersambung)


 

[i] JIka mekanisme ini akan diadopsi untuk program-program lain, peran TNP2K ini dapat diganti oleh instansi pemerintah di pusat dan daerah


[i] Kopernik adalah lembaga nirlaba berbasis di Indonesia, mendistribusikan teknologi murah kepada masyarakat di negara-negara tertinggal menggunakan cara crowdfunding. Di Amerika, “Kopernik” terdaftar sebagai lembaga golongan 501(c) organization. Lembaga ini terdiri dari 4 entitas: Kopernik Global, terdaftar sebagai Kopernik Solutions di New York State; Yayasan Kopernik beroperasi di Indonesia sebagai lembaga nirlaba yang diakui pemerintah; PT Kopernik, perusahaan di Indonesia, yang memberi layanan konsultasi, import dan export produk; dan Kopernik Japan, sebagai General Incorporated Association, memberikan advis dan melakukan penggalangan dana

Tags: