Bagian Pertama

Tulisan ini merupakan bagian dari orasi Ilmiah Erna Witoelar, co – founder Partneship -ID dalam acara wisuda Universitas Paramadina, Sabtu, 22 April 2017

Saya selalu merasa bahwa semua persoalan perempuan akan lebih maju dengan solusi melalui pemikiran serta pelaksanaan dalam kebersamaan laki-laki dan perempuan. Demikian pula berbagai tantangan pembangunan masyarakat dan bangsa akan lebih baik teratasi bila laki-laki dan perempuan bahu membahu menghadapinya. Bagi saya penguatan peran perempuan adalah juga penguatan peran masyarakat dalam proses pembangunan secara umum, dan khususnya dalam pembangunan berkelanjutan.

Meski saya belum pernah mengikuti pendidikan formal maupun melaksanakan penelitian khusus mengenai Kesetaraan Gender atau Pemberdayaan Perempuan, apa yang saya utarakan ini didasarkan atas pengalaman empiris saya dalam gerakan masyarakat selama lebih dari 40 tahun. Perjalanan hidup ini saya lalui dengan benang merah kepedulian akan ketidak adilan gender, masih lemahnya peran perempuan di berbagai sektor dan berbagai daerah, maraknya kekerasan terhadap perempuan, dan lain-lain. 

Fokus Pada Perspektif Perempuan

Untuk mempertajam pemahaman kita bersama akan permasalahan yang di hadapi, perkenankanlah saya menyorotinya dengan fokus pada perspektif perempuan terlebih dahulu. Ini perlu saya garis bawahi karena pada suatu masa saya pernah berpikir bahwa tidak ada perbedaan dalam masalah yang dihadapi oleh laki-laki dan perempuan. Pada lapisan masyarakat rentan, kaum pria juga mengalami masalah kemiskinan, kekerasan dan ketidakadilan. Demikian juga dalam hal perlindungan konsumen atau pelestarian lingkungan, tidak ada perbedaan yang mendasar bagi perempuan maupun laki-laki, tua atau muda, serta apapun bangsa, suku, agama, dan keyakinan politik. Banjir, tsunami, atau longsor, dan sebagainya, menyerang tanpa memilih-milih gender, usia, maupun partai dari para korban. Sampai suatu ketika, saya akhirnya menyadari bahwa hal ini tidak sepenuhnya benar.

Ternyata ada perbedaan dalam masalah yang dihadapi kaum perempuan khususnya, terhadap persoalan yang juga dihadapi oleh lawan jenisnya. Perempuan justru lebih menderita.  Di lingkungan masyarakat miskin, umumnya para perempuan lebih miskin lagi, paling rendah pendidikannya, walau bekerja lebih keras, namun paling tidak terurus kesehatan maupun gizinya. Masih saja terjadi diskriminasi dan ketidakadilan yang mengakar dalam alam bawah sadar struktur sosial masyarakat kita.

Sementara itu, dalam banyak hal, pengelolaan lingkungan sering tidak memberikan perhatian pada kepentingan perempuan. Polusi yang terjadi, misalnya, akan mendera perempuan lebih besar dari kaum laki-laki. Perempuan sebagai ibu yang akan melahirkan anak-anak penerus generasi, haruslah perempuan yang sehat. Apabila ia hidup di lingkungan polutif, maka ia tidak akan maksimal menjalankan perannya sebagai ibu.

Lebih lanjut, kerusakan lingkungan dan berkurangnya hutan secara drastis sangat mengganggu penghidupan perempuan di perdesaan. Mereka harus mengumpulkan kayu dan ranting sebagai bahan bakar padat utama bagi penggunaan sehari-hari, yang  makin jauh dari rumahnya. Penelitian UN Women menyebutkan bahwa pekerjaan mengumpulkan kayu bakar ini bisa menghabiskan 25% waktu kaum perempuan di perdesaan. Perempuan juga lebih rentan, karena memasak dengan kayu artinya banyak berada dalam ruangan dimana ia menghirup udara berasap dari bahan bakar yang digunakannya itu.

Sejak itu saya bertekad bahwa dalam semua kiprah saya di gerakan masyarakat  harus dipastikan adanya pemberdayaan perempuan untuk dapat melindungi dirinya sendiri maupun keluarganya.

Dalam masa aktivitas saya di gerakan konsumen misalnya, kami pastikan bahwa penegakan hak-hak azasi kaum perempuan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan menegakkan hak-hak dan kewajiban konsumen di Indonesia. Pertimbangannya, perempuan memegang peranan penting sebagai konsumen, karena ia tidak semata menjadi konsumen untuk dirinya sendiri, melainkan juga bagi keluarganya maupun lingkungannya bekerja. Jadi, perempuan yang akan menentukan, apakah sesuatu layak dikonsumsi keluarganya atau tidak. Bila perempuan telah menjadi konsumen yang baik, maka separuh perjalanan terlampaui.

Pada gerakan lingkungan hidup, kami temukan pula bahwa penguatan peran kaum perempuan ternyata justru menjadi solusi bagi pelestarian fungsi lingkungan. Di daerah pedesaan miskin misalnya, investasi bagi akses air bersih dan sanitasi selain meringankan beban  perempuan, juga meningkatkan penghidupan keluarganya.  Digantikannya penggunaan kayu bakar dengan energi bersih, selain bermanfaat bagi kesehatan perempuan karena mengurangi kontak asap, juga menghemat waktunya hingga membuka peluang bagi aktivitas pendidikan dan pendapatan keluarga.

Kesetaraan Gender  

Saya pernah berada pada suatu, ketika saya tengah giat-giatnya mengeksplorasi diri baik sebagai individu maupun sebagai perempuan yang sekaligus ibu rumah tangga, ibu tiga anak, dan sejak kuliah sampai di kiprah internasional banyak berada di lingkungan dengan mayoritas laki-laki. Mungkin ada semacam semangat untuk membangkitkan eksistensi perempuan dari titik saya berdiri, bahwa sebagai perempuan saya harus melakukan semua pekerjaan dan tanggung jawab dengan lurus.

Evolusi pemikiran mengenai peran perempuan ini membuat saya lebih dewasa dan melihat sisi kekuatan perempuan dengan sudut pandang yang lebih berimbang. Pada posisi setara itulah maka kekuatan perempuan akan semakin berdaya. Mengeksistensikan peranan perempuan berarti membuat perempuan berada dalam dunia yang sama dengan kaum lelaki.

Dalam konteks sederhana, fungsi sebagai orang tua adalah tugas dalam kebersamaan ayah dan ibu, tidak bisa hanya diserahkan sepenuhnya pada sang ibu saja.  Jadi, mana bisa keduanya tidak saling membutuhkan? Kesetaraan gender dalam versi saya adalah bahwa dunia ini diisi dua kekuatan gender tersebut yang saling mendukung. Semua isu kepedulian dan perjuangan yang dihadapi perempuan adalah juga masalah bersama dan layak diperjuangkan bersama oleh perempuan dan laki-laki. Semua perjuangan bangsa dan negara adalah perjuangan bersama laki-laki dan perempuan.

Kesetaraan gender sebenarnya berarti bahwa hak, tanggung jawab dan kesempatan seseorang tidak tergantung dari harkat lahirnya apakah dia laki laki atau perempuan. Kesetaraan ini maknanya bahwa kepentingan, kebutuhan dan prioritas baik laki-laki dan perempuan diindahkan, dengan menghargai perbedaan dari masing-masing gender.

Namun realita di lapangan menunjukkan, tidak mudah bagi perempuan memperoleh kesetaraan itu. Meski umumnya diskriminasi mulai berkurang, masih banyak pembedaan hak-2 yang diterima perempuan untuk bisa berperan optimal dalam pembangunan, seperti diskriminasi upah kerja, hak aset, perlindungan kerja, kekerasan domestik, dan lain-lain. Selain itu, ada berbagai kendala struktural, seperti kebijakan, peraturan, institusi, dan sebagainya yang masih meminggirkan hak, kebutuhan, peran dan kontribusi perempuan, disamping masih menghalangi akses perempuan untuk mengekspresikan pendapatnya.

Pendekatan Gender dalam Pembangunan

Kondisi kultur, ekonomi, lingkungan dan sosial, dan mungkin juga pemahaman religi yang disalahartikan, membuat pemahaman bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah. Konsep ini telah tumbuh dan mengental dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, sehingga kaum perempuan dianggap lebih wajar berkiprah di bidang aktivitas domestik, bukan di ruang publik.

Sementara itu, dari sisi pembangunan, hal-hal yang mengabaikan kehadiran perempuan, menjadi salah satu penghambat perempuan untuk maju. Satu contoh yang sederhana, ketidaktersediaan sarana MCK yang layak di sekolah-sekolah. Akibatnya, anak perempuan harus menahan hajat, pulang ke rumah dulu untuk melaksanakan hajat dengan kemungkinan tidak kembali lagi ke sekolah, atau tidak berangkat ke sekolah sama sekali. Akibatnya, tidak heran di beberapa tempat dijumpai angka putus sekolah yang tinggi dari kaum perempuan.

Tak usah jauh-jauh, beberapa tahun yang lalu saya menemukan kasus ini di wilayah Tangerang. Posisi wilayah yang dekat dengan Jakarta, bahkan dekat dengan bandara internasional, tidak menjamin wilayah itu terbawa maju. Alasannya, gedung sekolah tidak dilengkapi WC karena tidak ada dananya. Pihak sekolah memberikan alasan bahwa mereka tidak bisa menarik iuran orangtua, karena masyarakat sudah keburu diberi janji pilkada bahwa sekolah akan gratis. Upaya mencari solusi atas masalah ini, seringkali malah jadi bahan tertawaan. “Di sini mah orang-orang biasa dolbon, Bu,” demikian salah satu jawaban yang acap saya dengar. Dolbon berasal dari bahasa Sunda, singkatan dari modol di kebon (buang air di kebun). Rasanya gemas sekali; meskipun tetap salah! Okelah kalau laki-laki mungkin bisa, namun bagaimana dengan perempuan?

Malangnya, bukan hanya ketiadaan sanitasi yang bisa menyebabkan anak perempuan putus sekolah. Ironis, mengingat Indonesia telah berhasil mencapai kesetaraan dalam pendidikan, yang menghasilkan tingginya melek huruf yg tinggi yaitu 93.9 % untuk orang dewasa. Menurut Gender Parity Indeks (GPI) perempuan bersekolah naik dari 0.86 hingga 0.98. Namun demikian, masalah seperti perkawinan dini dan kemiskinan sering memaksa anak perempuan meninggalkan sekolah. Akibatnya paling tidak 2/3 dari kaum buta huruf adalah perempuan.

Menurut penelitian bersama BPS dan UNICEF, praktik perkawinan dini dibawah 18 tahun di Indonesia dari tahun 2009-2015 rata-rata berjumlah 22,8 %, dengan angka tertinggi di Sulawesi Barat (34,2%) dan Kalimantan Selatan (33,7 %). Lagi-lagi, dampak kemiskinan lebih parah pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Oleh karena itu, angka ini perlu terus ditekan agar praktik perkawinan dini dapat dihapuskan. Hal ini dikarenakan pernikahan dini dapat memberikan resiko bagi kesehatan perempuan, memicu kekerasan seksual, dan pelanggaran HAM. Selain itu pernikahan dini juga merupakan salah satu penyebab angka kelahiran tinggi yang lagi-lagi dapat merusak kesehatan sang ibu.

Dengarkan Suara Perempuan

Saya juga melihat dengan jelas, bahwa peranan perempuan dalam pembangunan bisa menjadi faktor solutif. Dalam posisi pengambilan keputusan, sebaiknya perempuan dilibatkan. Mengambil contoh pada saat saya menjabat menteri Pemukiman dan Prasana Wilayah (Kimpraswil), atau saat ini disebut sebagai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemPUPR), ketika meninjau lapangan, sering kali saya dirubung oleh banyak pihak, namun cenderung laki-laki. Kaum perempuan hanya berkumpul dan melihat di kejauhan. Biasanya saya akan mengambil inisiatif, memanggil kaum perempuan dan meminta pendapat mereka. Dari suara mereka seringkali muncul solusi, seperti dimana baiknya sumber air dibangun, atau perlunya jalan desa yang mendekatkan kampung mereka ke pasar, dan lain-lain. Jadi, apabila suara mereka didengar, biasanya perempuan akan menjadi pihak yang akan memelihara baik-baik sarana yang disediakan tersebut. Tumbuh semacam rasa memiliki.  

Saat menjabat menteri itu, saya juga banyak menekankan pentingnya peran perempuan di tingkat pengambil keputusan, maupun di lapangan dalam pelaksanaan proyek, karena mereka sekaligus akan menjadi pemelihara sarana dan pengawasnya. Ketika itu saya sempat berupaya untuk meningkatkan jumlah perempuan penentu kebijakan di instansi ini. Saya membuka pemilihan eselon dua dengan apa yang sekarang disebut “fit & proper test” namun ketika itu belum banyak diterapkan di pemerintah. Saya tidak menitipkan satu orangpun dari “luar”;  hanya menitipkan tambahan proses yang di luar negeri lumrah disebut “affirmative action”: kalau ada dua pilihan yang sama kuatnya, yang satu laki-laki dan lainnya perempuan, maka berikanlah kesempatan itu kepada yang perempuan. Saya bersyukur bahwa proses ‘mendengarkan suara perempuan’ ini dilanjutkan, sehingga kementerian PU setelah era saya banyak memperoleh penghargaan “ramah gender” dari berbagai pihak, meski ketika itu masih sedikit perempuan di posisi eselon 1 dan 2. Kini hal tersebut sudah banyak berubah, dan Menteri PUPR memberikan semakin banyak posisi tinggi bagi PNS perempuan yang mampu.