
Bagian ke – 2 dari dua tulisan
Tulisan ini bersumber dari orasi ilmiah Erna Witoelar, co – founder Partneship -ID dalam Wisuda Universitas Paramadina, Sabtu, 22 April 2017
Perempuan Dan Politik
Berbagai indikator mengenai kesertaan perempuan dalam politik dan perwakilan menunjukan kemajuan dan juga kebutuhan akan perubahan di Indonesia. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa terdapat kenaikan jumlah perempuan di DPR dari 17.32 % pada tahun 2014 menjadi 18.04 % di tahun 2016, sementara di daerah-daerah, kaum perempuan mendapat rata-rata kurang dari 15 %. Di bidang pemerintahan, hampir setengah PNS adalah perempuan, namun kurang dari 20% berada pada posisi pengambil keputusan. Kesanggupan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memperjuangkan kesetaraan gender sangat terbatas karena sedikitnya suara perempuan dan golongan minoritas yang terwakili.
Dalam pandangan saya, haruslah dipastikan bahwa semua orang memahami pentingnya mendengarkan suara perempuan dan mengakomodasikannya dalam berbagai hal yang relevan. Suara kaum perempuan ini layak mendapat perhatian khusus dalam perencanaan setiap program atau pekerjaan yang akan dilaksanakan, dalam konteks pemahaman bahwa kebutuhan perempuan kerap kali bersifat khusus karena berbeda dengan kebutuhan kaum laki-laki. Namun ternyata suara perempuan juga mampu mengangkat kepentingan anak-anak, keluarga, dan masyarakat di daerah itu.
Salah satunya pengalaman saya akan pentingnya mendengar suara perempuan adalah saat menjabat sebagai menteri Pemukiman dan Prasana Wilayah (Kimpraswil) dan harus melakukan restorasi pasca konflik Ambon. Ada satu desa yang sibuk saja berkelahi, sedikit-sedikit perang, bolak balik saja begitu. Ketika desa suatu kelompok tertentu selesai dibangun ulang, tak lama diserang dan dibakar habis oleh kelompok satunya. Desa itu berada di pinggiran kota Ambon, dan konflik yang terjadi dipicu oleh sentimen religi antara kelompok Kristen dan Islam. Konflik dan kerusuhan horizontal pada waktu itu sudah mengental di sana.
Semua bingung, bagaimana lagi mengatasinya? Tenaga dan biaya sudah banyak terserap habis untuk itu. Pada saat itulah, saya mencoba mengajak kaum perempuan desa tersebut untuk berdialog secara serius. Dari dialog tersebut terungkaplah, titik utama masalahnya adalah pada pengangguran. “Para bapak di sini menganggur, Ibu… jadi mereka bakalae karena tidak bekerja” demikian diungkapkan ibu-ibu itu. Jadi, alih-alih menggunakan energi untuk hal positif, mereka cuma memiliki isu negatif di benaknya, karena miskin, tidak ada penghasilan, padahal masih berada dalam kondisi produktif. Energi tersebut lalu dialihkan untuk hal tidak berguna yang paling mungkin dilakukan, yaitu berkelahi.
Jadi, ibu-ibu di sana menyarankan, beri mereka pekerjaan, maka mereka akan stop bakalae. Sebelum banyak menganggur, kaum pria di sana umumnya bekerja sebagai nelayan. Mereka mencari ikan dengan kapal-kapal yang kebanyakan dimiliki oleh orang-orang Buton. Semenjak penduduk rusuh dan selalu tawuran, maka para pemilik kapal pulang ke Buton. Kapal-kapal untuk melaut pun sudah tak ada, mereka bawa pulang ke Buton.
Demikianlah, sudut pandang sederhana dari kaum ibu itu sebenarnya adalah ide cemerlang. Ide tersebut kemudian diterjemahkan secara nyata dengan upaya membuat para kaum lelaki sibuk dan bekerja, hingga memiliki penghasilan yang membangkitkan harga diri mereka secara benar. Program pemulihan desa dilaksanakan serempak di desa-desa yang selama ini sibuk berkelahi. Misalnya, bila di desa ini dibangun lima bangunan, maka di desa lawan pun akan dibangun lima bangunan juga. Ternyata benar, mereka sibuk dan tidak ada lagi energi yang terbuang percuma! Cukup sederhana, dengan hasil yang efektif sekali. Pada saat itu rumah, masjid, gereja, sekolah dan sarana lainnya, dapat kembali dibangun.
Kesimpulannya, pada pasca konflik atau pasca bencana, ketika penduduk kehilangan segala-galanya, seringkali sumbangan dan bantuan saja tidak menolong banyak. Orang bisa bangkit dan berlanjut mempertahankan hidupnya bila memiliki harga diri. Kesimpulan berikut yang sangat penting, adalah terbukti peranan penting perempuan dalam menjaga perdamaian ternyata sangat signifikan. Jalan berpikir kaum perempuan ini tidak akan terangkat apabila mereka tidak diajak berdialog di ruang publik! Saya benar-benar bangga, karena perempuan itu sesungguhnya berdaya!
Mendalami Pembangunan Berkelanjutan
Lalu bagaimana penguatan peran perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan? Untuk itu perkenankan saya terlebih dahulu membawa kita semua dalam pemahaman lebih mendalam tentang Pembangunan Berkelanjutan. Konsep ini dilahirkan oleh suatu komisi dunia yang dipimpin oleh Gro Harlem Brundlandt, mantan perdana menteri Norwegia. Mantan Menteri Lingkungan Hidup prof. Emil Salim menjadi salah seorang anggota Komisi Dunia ini.
Laporan Komisi Brundland ini mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai proses pembangunan yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga pilar utama: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Ketiga dimensi ini saling terkait dan saling memperkuat bila dilaksanakan bersamaan.
Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa “…keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam”. Dengan demikian “pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual”.
Ada pula Pembangunan Hijau, Pertumbuhan Hijau, dan sebagainya; yang pada umumnya dibedakan dari Pembangunan Bekelanjutan, karena konsep-konsep ini lebih mengutamakan keberlanjutan lingkungan di atas pertimbangan ekonomi, seringkali meninggalkan aspek sosial dan budaya dalam prosesnya. Kini konsep-konsep tersebut dilengkapi, digabungkan dengan pembangunan/ pertumbuhan yang inklusif; namun intinya adalah melihat pembangunan dengan pendekatan holistik yang juga kadang-kadang disebut pendekatan integralistik atau pendekatan terpadu.
Studi Kasus Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara
Contoh konkrit peran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan cukup banyak, namun satu contoh dimana peran tersebut memberi dampak yang berarti adalah pada kiprah Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara (GPTP). Dasar berpikir sederhana ketika itu adalah bahwa perempuan tidak mau sekedar menanam, namun – sesuai kodratinya – mengangkat pentingnya memelihara yang ditanam itu. Gerakan ini dekat dengan kodrat perempuan sebagai ibu, sebagaimana bumi juga dikiaskan ibu bagi manusia, Ibu Pertiwi, Mother Earth.
Lebih dari itu, kemampuan kaum perempuan adalah potensi untuk melakukan revolusi ekologis dalam menyelamatkan lingkungan. Secara teoritis, kesadaran ini disampaikan oleh Francoise d’Eaubonne, feminis Prancis, dalam bukunya “Le Feminisme ou La Mort”. Gerakan ini menarik karena menggabungkan berbagai organisasi perempuan untuk bekerjasama memelihara bumi. Sebelumnya, organisasi-organisasi ini telah memiliki aktivitas peduli lingkungan, mulai dari menanam pohon, sayur mayur sampai tanaman obat, atau setidaknya membagikan bibit tanaman kepada peserta yang hadir untuk ditanam di kediaman masing-masing.
Sebanyak tujuh organisasi perempuan nasional tercatat bergabung dalam gerakan ini; Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Dharma Wanita Persatuan (DWP), Tim Penggerak PKK Pusat, Dharma Pertiwi (DP), Bhayangkari, dan Aliansi Perempuan untuk Pembangunan Berkelanjutan (APPB). Komitmen yang dicanangkan adalah menanam dan memelihara pohon yang telah ditanam tersebut. Keragaman latar belakang organisasi ini menjadi kekuatan GPTP, dan ketika berbagai kekuatan tersebut dipersatukan, maka efeknya menjadi seperti bola salju, semakin menggelinding, semakin besar.
Aksi GPTP ini antara lain merupakan kombinasi aspek kehutanan, pertanian dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dalam kegiatannya, penanaman pohon tidak hanya dilakukan di kawasan hutan, melainkan juga di lahan-lahan milik masyarakat. Artinya, gerakan ini juga mendorong masyarakat luas untuk bersama-sama menanam dan memelihara pohon yang ditanam tersebut. Tujuan GPTP pun semakin luas, yakni menggerakkan perempuan merawat lingkungan.
Sejak GPTP didirikan, telah diadakan enam kali perayaan acara puncak dengan tema berbeda-beda. Juga telah ditanam sebanyak 146.324.280 pohon. Banyak cerita tentang manfaat pohon-pohon tersebut di masyarakat, yang sampai kini masih sering terdengar. Dan yang terpenting, demam menanam pohon menjalar kemana-mana, membuktikan bahwa gerakan perempuan yang dilakukan bersama-sama dapat menunjukkan kedigdayaannya.
Penguatan Peran Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan
Pengalaman saya dalam berbagai gerakan masyarakat, menunjukkan bahwa pendekatan holistik menuju pembangunan berkelanjutan seharusnyalah dilaksanakan dalam berjejaring secara lintas lembaga, lintas pelaku, lintas sektor, maupun lintas wilayah. Berjejaring atau networking sudah lama dikenal di kalangan LSM, khususnya di gerakan lingkungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, perjuangan konsumen, kesetaraan gender, anti korupsi, dan sebagainya.
Berjejaring bisa dilakukan untuk advokasi memperjuangkan keadilan sosial, memperjuangkan HAM khusus perempuan dan anak a.l. melawan kekerasan terhadap perempuan, menghentikan perkawinan dini, KDRT, perdagangan perempuan dan anak-anak, dan lain-lain. Dapat pula berjejaring untuk upaya menggalang dampak bersama yang lebih besar daripada dilakukan sendiri-sendiri, seperti gerakan restorasi sungai, jaringan bank sampah, gerakan panen air hujan, dan sebagainya.
Berjejaring umumnya dilandasi semangat kerelawanan, dan yang terpenting adalah saling memberikan kepercayaan dalam kepemimpinan kolektif yang kolegial dan bergantian. Keberhasilan dan keberlanjutan jejaring bisa diperoleh dengan tata kelola yang baik, menjaga agar partisipasi, transparansi dan akuntabilitas terpelihara.
Termasuk di dalam pengertian berjejaring ini adalah membangun kemitraan dengan pemerintah, dunia usaha, kelompok agama, remaja, dan lain-lain. Pendekatan dari satu sudut pandang saja tidak lagi dapat diterapkan bila hendak mencapai tujuan bersama. Untuk itu kita harus memasuki gagasan pendekatan holistik dalam pembangunan berkelanjutan, dengan peran berbagai pelaku (stake-holder) disertakan di dalamnya. Pada akhirnya, diskusi dan perdebatan dari sudut pandang berbeda, akan mampu menghasilkan suatu keputusan yang lebih bijak, realistis dan implementatif.
Epilog
Pesan yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa penguatan peran perempuan adalah penguatan kebersamaan laki-laki dan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan. Berbagai contoh-contoh yang telah saya sebutkan membuktikan bahwa perempuan secara alamiah lebih mudah melaksanakan pendekatan holistik. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan banyak melakukan “multi-tasking”, merencanakan dan melaksanakan beberapa hal secara simultan, sehingga terdorong menggalang partisipasi orang lain untuk berperan.
Jika dibandingkan dengan situasi Indonesia beberapa dekade yang lalu, maka peran perempuan dalam pembangunan semakin maju. Semakin banyak menteri perempuan, bupati dan walikota, sampai kepala stasiun, dan lain-lain yang dijabat oleh perempuan. Meskipun ada juga yang korupsi atau memfasilitasi korupsi di lingkungannya, ada pula memimpin atau terlibat dalam berbagai tindak kejahatan, dan lain-lain, namun persentasenya jauh di bawah laki-laki yang melakukan hal yang sama.
Pemerintah telah semakin peka terhadap masalah gender dengan adanya berbagai UU yg khusus untuk itu serta revisi UU Kesetaraan Gender. Meskipun kesetaraan gender sudah dipacu oleh legislasi Pemerintahan dalam kurun waktu dasawarsa ini, tetapi berbagai indikator memperlihatkan celah2 antara kebijakan dan pelaksanaan. Memang masih banyak pekerjaan rumah kita, karena ini juga mencerminkan kesenjangan secara umum di bidang-bidang lain. Namun kita sudah melangkah lebih maju di jalur yang benar. Kita juga dibekali dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan komitmen pemerintah bahwa kesetaraan gender dan penguatan peran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan adalah tantangan – disamping kesempatan – bersama.