
Lakpesdam NU merupakan lembaga otonom dibawah NU, yang memilik rentang kegiatan pemberdayaan masyarakat yang beragam. Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga berbasis masyarakat, sudah dapat dipastikan beragam kegiatan Lakpesdam NU Bulukumba merupakan sinergi berbagai pihak, dengan varian kepentingan yang beragam. Untuk itulah, maka kami mewawancarai M. Nur Al A’la , ketua Lakpesdam NU kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, guna mendapatkan insight lebih memadai tentang peran dari pola-pola partnership yang kerap kami gaungkan pada tataran praktek lapangan. Al Ala, lulusan STIA Darul Dakwah Al Irsyad yang sarat pengalaman dan aktifitas itu, merupakan peserta pelatihan dan mentoring Partnership-Academy yang diadakan oleh Partneship-ID dan Oxfam pada bulan April yang lalu. Teguh Iman Perdana dari P-ID mewawancarainya dalam beberapa sesi percakapan. Berikut petikannya.

M. Nur Al Ala
Dengan segenap latar belakang aktifis Anda yang sungguh berwarna itu, apa misi utama yang Anda bawa ketika bergabung dengan Lekesdam NU Oh ya,..soal misi sederhana saja daeng, mengajak sebanyak,.mungkin kader, untuk bekerja di rumah sendiri. Tentu saja, pilihannya adalah sama-sama belajar untuk berdaya.
Apa yang menjadi program prioritas Lakpesdam NU saat-saat ini?
Dalam ini, secara internal organisasi, fasilitasi pembobotan kader, SDM. Tentu saja ini agak lama berproses, dibutuhkan daya tahan. Dalam upaya, fasilitasi internal Lakpesdam membangun kerjasama dengan para pihak, organisasi dan lembaga negara. Fokusnya, mendorong peningkatan layanan, proses ini yang kemudian berimplikasi ke pengembangan SDM.
Adakah project yang memerlukan pola partnership yang ‘ketat’ saat ini untuk menjamin keberhasilannya? Dapatkah Anda menceritakan beberapa?
Semua project…kemitraan ketat, daeng. Di internal Lakpesdam ada tim khusus yg mengelola, dimana ada penjamin kualitas kegiatan, ada tata kelola yang harus baik. Karena itu berhubungan dengan audit di internal Lakpesdam dan eksternal audit
Maaf daeng agak panjang ceritanya. Tapi ada sedikit catatan, sebagai contoh saja: Satu, ada Perda pertama kali lahir di Indonesia, namanya Perda Perlindungan Hukum Masyarakat Adat Kajang. Dua, melakukan Verval data di Masyarajat Adat Kajang, uji coba dilakukan berdasarkan standar kemensos.dan dilakukan oleh masyarakat adat sendiri. Tiga, merintis Desa Ramah Anak.”Bialo Menyapa Nusantara”. Ada perdes pencegahan perkawinan anak.
Adakah hasil yang mengesankan dalam melaksanakan pola partnership menangani berbagai kasus/project selama ini?
Hampir semuanya mengesankan, karena project yang kami lakukan menantang, dan inovatif di daerah kami.
Soal lembaga audit eksternal dalam Lekpesdam NU Bulukumba. Saya melihatnya ini menarik, karena menjadi lembaga kontrol yang efektif menjamin proyek berjalan baik. Bagaimana asal mulanya dan bagaimana lembaga ini bekerja?
Jadi yang pertama sebenarnya ini dalam rangka menginternalisasi ya, tanggung jawab secara bersama, baik oleh Lakpesdam mau pun NU. Karena Lakpesdam adalah badan otonom NU, jadi disatu sisi pengurus NU dilibatkan sebagai badan pengawas. Yang dilibatkan dalam proses monitoring di setiap kegiatan yang berlangsung. Yang kedua adalah pelibatan sejumlah orang yang berasal dari kalangan profesional, misalnya kawan-kawan wartawan, baik radio, TV mau pun media di Bulukumba. Semua kita libatkan sebagai pihak yang ikut melakukan monitoring, evaluasi, misalnya sehingga bisa membaca dimana keberhasilan-keberhasilan teman-teman yang ada di program. Karena tidak boleh teman-teman yang melaksanakan itu program, yang mengatakan bahwa program itu sudah bagus.
Bagaimana dengan pelibatan tokoh-tokoh local?
Ya, selain itu, memang kami juga melibatkan tokoh masyarakat setempat di daerah sasaran. Jadi dia itu masuk dalam mekanisme pengawasan. Akhirnya karena perjalanannya seperti itu maka kami jadikan SOP di lingkungan Lakpesdam. Jadi ini sudah menjadi standar operasional kegiatan kita juga…. Nah, ini juga di dalam rangka proses, apa-apa yang sudah dicapai dalam sebuah proses kegiatan. Prinsipnya, bagi kami di dalam melaksanakan program ini, kami melihat ini adalah cara paling sederhana di dalam rangka meningkatkan kualitas pekerjaan sendiri, menyebarkan basis informasi. Karena seringkali dalam program-program ini ‘kan, tidak hanya berhenti saja di project nya. Akibatnya, ini bisa diduplikasi di banyak tempat dan alhamdulillah, kami di Bulukumba ini, walau pun kegiatannya kecil-kecil, tetapi banyak yang publikasi. Nah, itu ‘kan bagian dari capaian-capaian yang terus bergulir yang dilakukan oleh masyarakat sendiri dan organisasi.
Saya melihat hal ini langkah yang “cerdik” . Menghadapi teman-teman media di daerah itu seperti pisau bermata dua. Kadang konstruktif, kadang mengganggu…. Bagaimana Anda melakukan pendekatan? Ini rasanya terkait dengan persoalan partnership juga.
Prinsipnya teman-teman itu sederhananya begini. Pada awalnya kami tawarkan teman-teman media itu untuk membagikan pengetahuannya. Pada saat kawan-kawan media itu sudah bersedia, kami memang buatkan kelas tulis menulis, dimana pesertanya itu… berkali-kali, bertahap. Nah, setelah pintar menulis, saya ‘todong’ lagi bagaimana meningkatkan kemampuannya lebih bagus. Kalau perlu bagaimana caranya mereka dilibatkan di dunia tulis menulis itu.
Anak-anak binaan Lakpesdam yang menjadi siswanya ini ya?
Ya. Alhamdulillah di Bulukumba ini sudah banyak yang jadi penulis, Daeng. Dan kelas menulis itu tidak hanya terdistribusi di kabupaten Bulukumba. Ada yang sudah masuk ke harian “Tribun”, harian “Fajar”. Sehingga kalau kita lihat-lihat berita tentang Lakpesdam Bulukumba, itu pasti banyak beritanya. Maksudnya tidak terlalu banyak, tapi lumayan-lah..
Ya, dalam konteks daerah, itu sudah bagus sekali
Ya Daeng, dan itu ramai sekali. Tulisan-tulisan itu, berita-berita itu, tidak ada yang diperintah menulis itu.
Luar biasa ya..
Ya, kami juga sadar, bahwa berhubungan dengan media itu ‘kan, teman-teman media butuh (konten) yang bagus. Karena kami sadar tidak punya kemampuan daya servis yang terus menerus.
Ya, ibaratnya merebut hati dengan menggunakan ‘senjata’ sendiri..
Betul, mas. Lalu jika bicara pelibatan aparat birokrasi, sederhananya begini. Ini kami sedang melakukan praktek lobi, secara tidak langsung. Karena program ini perlu keberlanjutan. Kalau mereka terlibat, sesuai dengan lingkup tanggung jawabnya, maka mereka akan lebih tahu perkembangannya. Daripada mereka duduk di meja ‘kan? Lebih baik mereka ikuti proses monitoring, evaluasi, dialog-dialog, meski pun tidak semua orang di OPD itu, dapat mengikuti dengan baik. Karena itu terkait dengan kewenangan yang ada, dimana kepala bidang itu setiap saat bisa berubah. Sehingga memang kita juga harus mengintip ya, orang-orang yang punya potensi untuk membangun negosiasi di lingkungan OPD nya.
Jadi untuk kasus di Bulukumba, ya lumayan ‘lah, karena terbukti bisa menelurkan regulasi melalui program-program Lakpesdam. Ini juga tidak lepas dari pelibatan dari awal seluruh aparat yang terlibat, Daeng. Pelibatan itu, dibawa dulu ke kampung, nanti prosesnya akan lebih meningkat, ketika didorong ke kebijakan-kebijakan. Sehingga kebijakan itu ‘kan ada yang sifatnya langsung berimplikasi pada tindakan-tindakan OPD tersendiri, dalam artian dukungan program, ada yang memang butuh kebijakan khusus, misalnya perlu ada regulasi…
Menarik sekali, artinya, sekali lagi ini … adalah menciptakan rasa memiliki. Proyek kita jalan, dan mereka sendiri merasa terbantu tugas-tugasnya…
Ya, istilahnya kami berupaya meningkatkan kehadiran negara, agar negara hadir di sektor manapun. Kami berupaya membuat regulasi negara itu supaya lebih berdaya ‘lah, kira-kira begitu.
Dalam prakteknya, berbagai project yang digarap oleh Lakpesdam NU Bulukumba mencatat hasil yang signifikan, dengan merujuk pada berbagai perda yang dihasilkan, dan juga luasnya stake holder yang dapat diajak bersinergi. Dalam hal ini, penelusuran lebih lanjut dengan Nur A’la mengungkapkan adanya lobi-lobi yang secara spesifik dilakukan. Lobi memang merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses partnership itu sendiri, karena fungsi seorang broker partnership adalah kemampuan menjembatani berbagai kepentingan. Lewat lobi-lobi yang spesifik dan khas, Nur A’la mengisahkan bagaimana proses munculnya Perda-Perda berbasis advokasi masyarakat berhasil dilakukan. Benang merahnya memang terletak pada mengajak keterlibatan para stake holder hingga memunculkan sense of belonging. Kreatifitas dan improvisasi, menjadi kata kunci. Seperti apa proses itu berjalan dibawah Lakpesdam NU Bulukumba??
Kalau melihat pola-pola begini, saya kira dalam kasus-kasus yang tadi mau saya tanyakan, pola-polanya juga mirip ya? Semisal, lahirnya Perda larangan perkawinan anak..
Mirip. Memang kalau perda itu, tantangannya, khususnya Perda perlindungan hukum bagi masyarakat adat Kajang, itu lama prosesnya, sampai 2 tahun. Karena itu ‘kan melibatkan akademisi, LSM local, nasional, … yang terlibat ya. Nah, di dalam proses itu memang tahapannya panjang. Malah dalam beberapa kasus itu ‘kan, misalnya telaah kritis akademis, itu ‘kan masih melihat sejumlah yang terisolasi, katakanlah masyarakat adat itu terisolasi, jauh dari akses dan (maaf), masih dianggap bodoh. Bodoh dalam artian karena tidak melibatkan proses yang benar. Itu yang lama kami fasilitasi meletakkan persoalannya dengan baik. Lama juga proses itu…
Kira-kira dinamikanya pada hal-hal apa saja untuk kasus ini? Bagaimana kemudian Anda melakukan rekonsiliasi, lewat pendekatan partnership, untuk kasus ini?
Jadi sebenarnya ‘kan, memang kami memastikan prinsip-prinsip dasar, mana yang mengganggu tata nilai secara adat. Jadi kami listing sebanyak-banyaknya, problem yang kira-kira akan mengganggu di kemudian hari. Kami lalu menegosiasikan kepada pihak pemerintah. Nanti, yang bisa berjalan mulus di tahun kedua itu, ketika SK tim gugus itu, ketika turun dari Perda turun kepada petunjuk tehnis Perda itu sendiri, itu benar-benar sudah melibatkan masyarakatnya. Teman-teman yang tidak termasuk tim pemerintah tinggal jadi pengarah saja.
Nah jadi prinsipnya saya lihat.. regulasi ini bisa berjalan dengan baik, itu kalau sejak awal memang start awalnya di titik partisipasi masyarakat ..
Saya melihatnya begitu. Benang merahnya ada pada pelibatan dan partisipasi aktif masyarakat ya.. dari para pemangku kepentingan. Saya melihat, secara tidak langsung prinsip-prinsip partnership itu menjadi tidak terhindarkan kalau memang mau sukses..
Memang jika diambil rata-rata, start awalnya yang penting. Kami lihat kalau start awalnya bagus, maka kita tinggal bisa mempresentasikan itu dengan baik, lebih bisa merasionalisasi keadaan. Bahwa kemudian, memang di kami sendiri membuat tim lobinya khusus untuk birokrasi. Karena kalau di regulasi itu, lalu bersentuhan dengan DPR …
Ini DPR atau DPRD? Propinsi, toh? Atau kabupaten?
Kabupaten. Raperda. Ya, tetap saja ‘kan, ada warna-warnanya… ya macam-macam ‘lah, partai disana. Sehingga kami di tim lobi itu benar-benar harus benar-benar jeli, melobinya kepada siapa? Mendekati ketua partainya, ketua DPRD nya, atau siapa? Karena di DPRD itu, kalau pengamatan saya, semua perdebatan ujungnya, apakah itu menguntungkan, apakah itu strategis, dalam konteks wilayah pemilihannya. Selalu ada perspektif kepentingan itu..
Ya,… tentu saja. Tidak ada makan siang gratis ‘kan? No free lunch…
Ya betul, Jadi kami di Lakpesdam, biasa bawa urusan serius persidangannya itu, ke warung kopi. Iya, karena jika di DPR (D), sidangnya itu, rapat-rapatnya itu, ‘kan serius. Sudah begitu, anggarannya itu, besar sekali. Sekali di DPR, bisa 10 kali di warung kopi. Dan yang lebih penting dari proses lobi yang kami lakukan adalah, mengapresiasi sejumlah tokoh di DPR (D), di birokrasi … itu.. dengan membuatkan panggung, Daeng.
Dengan cara apa?
Salah satunya adalah dengan talk show di radio. Ada sejumlah orang. Sebenarnya dia itu tidak setuju dengan pekerjaan kita. Namun karena dia punya peran sebagai pejabat negara, dia tidak mungkin tidak setuju. Ini urusannya tehnis memang, ..
Justru ini yang menarik. Jika bicara text book saya kira tidak ada yang sedalam ini implementasinya. Nah, pertanyaan saya berikutnya adalah, apakah ini semua ini ada SOP dari Lakpesdam pusat? Atau ini lebih pada improvisasi Anda di lapangan saja?
Sebenarnya kalau di Lakpesdam PBNU itu ‘kan, umum semua standarnya. Dalam artian misalnya, kami penerima hibah, misalnya mengerjakan satu isu program. Dia bertindak sebagai lembaga payung, misalnya. Tapi menterjemahkan ini ke bawah, ndak ada. Kami yang di daerah ini yang berimprovisasi. Benar-benar kami harus membangun diskusi internal untuk melihat sisi-sisi kegiatan … ini masuknya kemana, siapa yang harus ditemui. Jadi benar-benar, mengidentifikasi orang itu sangat penting.
Apa manfaat signifikan pelatihan/mentoring dengan P-ID/Oxfam bulan Juli lalu dalam menunjang kerja Anda?
Semaking menegaskan. Totalitas berbuat, penting, dan pengetahuan serta keteram pilan bagian penting sebagai alat perangnya.
(tip/aha)
*******