oleh Canyon Keanu Can and Teguh Dartanto
Department of Economics, Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia.
Selama kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023, Indonesia telah menyoroti ekonomi biru sebagai sektor kunci bagi masa depan berkelanjutan di kawasan ini. Perekonomian yang lebih hijau dan biru membutuhkan keseimbangan lingkungan dan masyarakat.
Dalam memprioritaskan sektor ini, Indonesia menyadari tantangan besar maupun potensi besar yang terkait dengan ekonomi biru, serta perlunya kerja sama internasional dan antarsektor untuk sepenuhnya memanfaatkan kapasitas sektor ini demi masa depan yang lebih inklusif dan adil.
Laporan singkat ini mengeksplorasi kemajuan yang ada di Indonesia dalam memanfaatkan ekonomi biru, tantangan apa yang ada di depan, dan inisiatif strategis apa yang harus dilakukan Indonesia untuk membuka jalan menuju transformasi ekonomi biru.
Catatan P-ID
P-ID memuat kembali artikel berharga ini sebagai bagian dari upaya turut menyebarluaskan literasi ekonomi biru dan sejauh mana Indonesia bergerak menempuh road map yang telah dicanangkan guna masa depan bumi dan Indonesia yang lebih baik. Artikel aslinya dapat dilihat pada https://www.eria.org/uploads/media/policy-brief/FY2023/Developing-the-Blue-Economy-in-Indonesia.pdf
Konsep Ekonomi Biru di Indonesia
Deklarasi Pemimpin ASEAN tentang Ekonomi Biru tahun 2021 menegaskan kembali komitmen Indonesia dan masyarakat terhadap laut: mengakui bahwa laut adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi dan inovasi, dan mengakui perlunya keberlanjutan dan tata kelola berbasis aturan.
Sebagai negara terbesar di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dalam hal daratan, perairan, dan manusia, Indonesia memiliki lebih dari 18.000 pulau, 80.791 kilometer garis pantai, dan 3 juta kilometer persegi perairan ekonomi eksklusif (Zona Ekonomi Eksklusif, ZEE), termasuk Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) yang menandai kumpulan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia (BAPPENAS, 2022), yang dimiliki Indonesia dengan negara lain.
Ekonomi biru Indonesia memiliki potensi nilai sebesar $1.334 miliar atau setara dengan Rp19.371 triliun (BAPPENAS, 2021). Untuk itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) telah merumuskan Kerangka Pengembangan Ekonomi Biru untuk Transformasi Ekonomi Indonesia (BAPPENAS, 2021). Kerangka kerja ini menekankan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif, dan memetakan jalan menuju pemenuhan mandat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025 – untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat, maju, dan berketahanan melalui penerapan pembangunan berkelanjutan – dan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia 2020–2024, menekankan perlunya pengelolaan laut yang baik untuk mencapai agenda pembangunan berkelanjutan.
Sektor ekonomi biru yang mapan di Indonesia adalah perikanan tangkap, pengolahan makanan laut, pelayaran dan pelabuhan, pembuatan dan perbaikan kapal, minyak dan gas lepas pantai perairan dangkal, manufaktur kelautan dan pariwisata pesisir, jasa bisnis kelautan, penelitian dan pengembangan serta pendidikan kelautan, dan pengerukan (BAPPENAS, 2021 ). BAPPENAS dan OECD juga telah mengidentifikasi subsektor biru utama yang sedang berkembang di Indonesia, yaitu budidaya kelautan, minyak dan gas perairan dalam dan perairan ultra-dalam, energi angin lepas pantai, energi terbarukan kelautan, pertambangan kelautan dan dasar laut, keselamatan dan pengawasan maritim, serta bioteknologi kelautan dan produk serta jasa kelautan berteknologi tinggi.
Transisi Menuju Ekonomi Biru
Penekanan pada ekonomi biru sebagai sektor yang berkelanjutan dimulai integrasinya ke dalam kebijakan nasional dan daerah Indonesia dengan fokus RPJPN tahun 2005–2025 pada pemanfaatan sumber daya maritim secara berkelanjutan. Namun, praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan yang merusak lingkungan laut dan kegiatan pariwisata yang merugikan telah menjadi tantangan bagi kemampuan Indonesia untuk mencapai kelestarian laut.
Kementerian Koordinator Urusan Kemaritiman dan Investasi yang baru dibentuk menggarisbawahi tingginya politik prioritas agenda kelautan Indonesia dan pemahaman pemerintah bahwa pendekatan yang sinergis dan lintas sektoral diperlukan untuk mengatasi tantangan multidimensi ekonomi biru. Sesungguhnya, pada tahun 2021, 28 dari 34 provinsi di Indonesia telah meratifikasi peraturan daerah untuk melaksanakan perencanaan tata ruang maritim (Rencana Zonasi Wilayah Perairan dan Pulau Pulau Kecil (RZ-WP3K)), dan enam provinsi lainnya telah memiliki peraturan perundang-undangan yang sudah siap pada tahap akhir sebelumnya. ratifikasi (KKP, 2021).
Lanskap Kelembagaan dan Peraturan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 dalam kerangka hukum Indonesia, yang mengatur bahwa tata kelola dan kedaulatan laut teritorial Indonesia harus mematuhi konvensi tersebut. Indonesia juga meratifikasi Konvensi Internasional Keselamatan Kehidupan di Laut tahun 1974 melalui Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980.
Peraturan lainnya mencakup peraturan yang mendukung konsep ekonomi kelautan secara umum (misalnya Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia); yang mendukung pelaksanaan proses bisnis di sektor kelautan dan perikanan (misalnya Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Stok Sumber Daya Ikan); mereka yang melaksanakan perencanaan tata ruang laut, perlindungan, dan pengelolaan limbah (misalnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup); yang mendukung transportasi laut (misalnya Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 yang mengatur tentang alur laut Indonesia); perlindungan energi, sumber daya mineral, dan sumber daya maritim non-konvensional (misalnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kepulauan); yang mengelola konstruksi kelautan dan bioteknologi (misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Proses Bisnis Sektor Kelautan dan Perikanan); dan yang mendukung pemanfaatan laut untuk wisata bahari dan kegiatan usaha di wilayah pesisir dan pulau-pulau (misalnya Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata).
Badan-badan pemerintah yang bertanggung jawab melaksanakan, menegakkan, dan mengembangkan inisiatif strategis ekonomi biru meliputi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (untuk koordinasi dan sinkronisasi kebijakan), Kementrian Dalam Negeri, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementrian Kelautan dan Perikanan, serta Kemnetrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementrian Perhubungan dan BAPPENAS.
Komitmen kerja sama internasional juga mendukung transisi biru. Komitmen terbaru yang ditandatangani Indonesia di luar ASEAN antara lain Deklarasi Asosiasi Pesisir Samudera Hindia tentang Ekonomi Biru di Kawasan Samudera Hindia tahun 2017, Pernyataan Bersama Swedia dan Indonesia tentang Kerjasama di Bidang Ekonomi Biru tahun 2021, dan Pernyataan Bersama Australia–Indonesia tahun 2021. Pernyataan Kerjasama Ekonomi Hijau dan Transisi Energi. Kemitraan ini memimpin Kerangka Pembangunan Ekonomi Biru tahun 2021 untuk transformasi ekonomi Indonesia, bersama dengan Kelompok Kerja Pembangunan G20 pada tahun 2022, dengan ekonomi biru sebagai salah satu bidang fokusnya.
(bersambung).